BAB 60 : Membujuk Sang Manis

Mulai dari awal
                                    

“Pulang lo!” usir Sanggala setengah menyeru. “Udah masuk nggak pake kata mukadimah, kasur gue dijajah dan sekarang gue dikatain juga. Gue pasien kalau lo lupa, Maemunah!” tandasnya penuh emosi, kemudian serta-merta memberikan gestur mengusir ke arah si bungsu. “Minggir, gue mau bobo ganteng. Cogan harus cukup tidur untuk menyambut dunia besok.” lalu tanpa aba-aba menendang Kanaya dari atas ranjang hingga sang korban jatuh sangat dramatis ke lantai. Sanggala hanya mampu geleng-geleng kepala sembari menyamankan diri bersandar di kepala ranjang. “Heh, Murid Sung Go Kong! Tumben-tumbenan lo nggak ngekorin Zira kek bocah SD yang mau diangkut kemana-mana? Jangan-jangan dilepeh lo, ya? 'Kan, udah dibilangin badan penuh beban itu nggak usah banyak tingkah. Ditinggal beneran, 'kan. Rasain, dah, noh! Mamam sampe kenyang!”

Lawan bicara lantas mendelik paling sebal dengan manik berotasi sinis. “Lama-lama makin nggak ada harga gue di mata lo, ya. Saban hari Zira muluuu yang ditanyain, dicariin. Inget adek sendiri, susah amat keknya, tuh, kepala bulet jomblo lo itu.”

“Takut terguncang mental anak orang lo bikin, gini-gini khawatir gue kalau sampe besok-besok ada berita lo masuk penjara. Organ lo masih cukup murah buat kompensasinya Zira, asal lo tau aja, nih, ya.” Sanggala melipat tangan pongah dan menukik bibir seiring iris rubahnya memicing. “Lagian kemarin gue udah minta comblangin sama temen lo. Lonya nggak redho, ya, setan!”

Kanaya melotot besar dan menyilangkan tangan di depan dada. “AISA NGGAK LEPEL SAMA KALENG KERUPUK LIMA RATUSAN KAYAK LO, YA! NGIMPI AMAT, NIH, BOCAH KEMATIAN!”

“Berarti gue berhasil ngasih lo ipar yang cakep, kalem dan manis, dong! Masa nggak mendukung abangnya sendiri, sih.” Sanggala tidak terlihat ingin mengalah, ia makin menyudutkan lawan. “Dulu minta deketin sama Zira lo larang juga, Wahai Manusia Bakwan!”

“Muka lo penuh dosa, nggak ridho gue Zira terkontaminasi bakteri dunia kek lo.”

“Halah, gue nggak ngabarin 1×6 jam aja lo udah grasak-grusuk ngambek. Mana pake acara nyudut di deket WC lagi,” sahut Sanggala, betulan tidak habis pikir akan cara sang adik berpikir. “jadi pilih. Mau Zira atau Aisa lo itu yang jadi jodoh Abang?”

“GUE SUNTIK MATI LO, YA, BANG?!”

Sanggala melempar remote AC pada gadis di bawah sana sampai si korban mengaduh kesakitan. “Yang sopan lo sama Pangeran, sekarang lo berada di wilayah kekuasaan gue. Dasar rakjel banyak gaya.”

“Gue ngambek, ya, njir?! Nggak gue tengokin lagi lu, ya?! Nggak bersyukur bat punya adek capek dan bling-bling kek gue, heran.”

Senyuman penuh makna tersebut tersemat kala genangan kenangan berputar dalam benak sementara iris menyorot adiknya lamat-lamat. Ah, rasanya masih segar dalam ingatan ketika ia menggendong seorang bayi berkulit merah, menangis nan memekakkan telinga dan kadangkala tertawa tanpa sebab. Sanggala berumur lima tahun sewaktu merawat dan menjaga Kanaya yang tidak lagi diberi asi ataupun diawasi tiap gerak-gerik perkembangannya. Dia hanya bisa ikut menangis setiap Kanaya menolak menghabiskan susu formula sembari melengkingkan tangisan paling muram.

Pemuda tersebut memiringkan kepala dan tersenyum lebih lebar. “Dek, diliat-liat lo makin gede juga, ya. Padahal dulu suka poop sembarangan, mana bunyi kentutnya gede lagi. Bikin malu Abang aja lo.”

“Ini lo lagi terharu apa ngajak ribut, sih?”

“Gue lagi berusaha nyari topik supaya lo buka mulut,” Sanggala mengangkat bahu dan melempar lengkungan misterius kemudian. “kan, udah jadi kebiasaan lo, kalau ada masalah pasti gue yang diajak ribut. Ada apa, hm?”

Story Of Ghaitsa | Zoo UnitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang