035 Kosong Satu

273 67 13
                                    

Suara berisik dari beberapa orang yang baru masuk ke rumah makan menghentikan obrolan Fashion dan Neima. Mereka yang telah selesai makan bersiap untuk pergi. Tempat itu betul-betul dipergunakan untuk makan saja karena pelanggan datang silih berganti. Tidak cocok untuk nongkrong menghabiskan sisa sore ke malam apalagi numpang wifi gratis. Keduanya berdiri bersamaan dari tempat duduk masing-masing. Mereka akan membayar di kasir yang berada di dekat pintu keluar.

"Hah! Pak Ion sama Bu Neima!" seru seorang perempuan yang kaget. Dia adalah salah satu dari rombongan yang berisik tadi. Kontan saja teman-temannya juga menyadari keberadaan guru mereka di sana.

"Bu Neima?" Siswa laki-laki terkesima, antara percaya dan tak percaya melihat Neima di warung itu dengan penampilan rumahan.

"Sst ... Guru lo itu, wey!" sikut Amanda, salah satu di antara kelompok, kepada teman laki-lakinya yang menatap Neima bak patung. Yang lainnya berbisik-bisik.

"Mau makan di sini kalian?" tanya Neima berbasa-basi.

"Ibu sama Pak Ion makan di sini juga?" Amanda bertanya setelah mengangguki pertanyaan Neima. Hanya dia yang tidak menampakkan keterkejutan bertemu kedua guru itu.

"Iya. Rumah kalian dekat sini?" Fashion menambahi.

"Lumayan dekat, Pak," jawab perempuan di sebelah Amanda.

"Nikmati makan kalian." Neima berbisik 'ayo' kepada Fashion.

Cowok itu pun berpamitan kepada para remaja, lalu mengikuti Neima yang lebih dulu. Sempat ia dengar perempuan-perempuan lebih muda di belakangnya berteriak kecil.

"Beneran pacaran!"

Fashion menggeleng saja. Dia tersenyum dengan tingkah para remaja itu. Matanya kini menatap posisi Neima dan dengan gegas Fashion menyusul.

"Kakak mau ngapain? Gak, jangan diterima, Mas! Saya yang bayar," ucapnya kepada kasir. Fashion bukan hanya bicara, melainkan langsung menyerahkan lembaran merah.

"Bikin malu aja," bisik Neima, kemudian pergi meninggalkan Fashion—lagi.

"Saya minta maaf." Datang-datang lelaki itu mengejutkan Neima yang sedang melihat-lihat galeri ponselnya.

Neima mendongak sedikit ke arah kiri. Kedua alisnya naik, kemudian, "Oh." Dia menyadari kata-katanya tadi mungkin saja terdengar oleh Fashion.

"Lain kali kalau kita makan lagi, tolong Kakak biarkan saya yang membayar."

Neima menyipitkan mata. "Masih ada lagi?"

"Harus ada lain kali," tegas laki-laki berkaca mata itu.

"Sekali lagi, boleh." Neima mengangguk-angguk. "Karena kau sudah membayar makananku, lain kali berarti aku."

"Kak," rengek cowok itu. "Ion laki-laki juga."

Neima tersenyum kecil. "Ck ... Pengin banget diakui laki-laki," ejek Neima.

"Besok makan sama saya lagi 'kan?"

"Besok?"

"Dan besoknya," sambar Fashion cepat dengan senyum seindah bintang di malam itu.

Perjanjian tersebut tidak pernah terjadi sebab kesibukan mereka di sekolah. Selama satu minggu Fashion mengerahkan pikirannya untuk menyusun soal Penilaian Tengah Semester. Ia memulai dari membuat kisi-kisi soal yang diambil dari kompetensi dalam silabus, kemudian membuat indikator soal. Indikator soal-lah yang akan dijadikan soal. Fashion membuat indikator dengan sangat spesifik, sehingga ia membutuhkan waktu cukup lama untuk satu soal saja.

Selain itu, karena ini kali pertama untuknya. Ia ingin hasil yang betul-betul diciptakan oleh pikiran dan tangan sendiri, bukan diambil dari soal orang lain. Fashion menghabiskan hari luang dengan mengetik di laptop. Memikirkan dalam-dalam soal berdasarkan level kompetensi agar layak dikategorikan sebagai HOTS. Begitu kisi-kisi selesai, Fashion mulai membuat kartu soal yang di dalamnya termuat kunci jawaban. Barulah ia membuat soal pada format khusus.

NEIMA Berdua Paling BaikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang