027 Tempat Pelepasan Emosi

373 86 31
                                    

"Ada apa?" Neima bertanya dengan nada galak melihat kehadiran Fashion pagi ini di rumahnya. Ditambah suasana hatinya sedang buruk.

Sambil mandi Neima sudah memikirkan langkah pertama yang harus dia lakukan. Sehabis mandi, dia menghubungi atasannya dengan amat sungkan. Bawahan mana yang menelepon bos pukul setengah tujuh, sebelum jam kerja? Neima tak ada pilihan lain. Setelah memberi salam dan mengatakan maaf, dia memberitahukan tujuannya.

"Pak minta izin, bolehkah saya membawa putri saya ke sekolah?"

Sependek pengetahuan Neima, bosnya selama ini cukup ramah. Beliau tergolong atasan yang kooperatif dengan jiwa kekeluargaan yang tinggi.

"Kenapa, Bu Neima? Apa anak Bu Neima sakit lagi? Tak perlu masuk kalau begitu. Untuk apa kita bekerja kalau bukan untuk anak."

Neima bersyukur dengan tanggapan Pak Gufran yang seperti itu.

"Alhamdulillah, putri saya tidak sakit. Hari ini kakaknya pulang kampung. Saya belum tahu akan menitipkan putri saya ke mana, Pak. Jadi saya minta tolong sama Pak Gufran, izinkan saya mengajaknya ke sekolah."

"Oh, begitu. Bawa saja. Kasihan anaknya kan gak mungkin ditinggal. Silakan, Bu Neima."

Neima merasa lega sekali. Ingin ia mencium tangan bosnya saking bahagia di hati. "Terima kasih banyak, Bapak. Saya pastikan putri saya tidak mengganggu sekolah kita dan saya saat ngajar, Pak."

"Iya, Bu Neima." Bosnya mematikan telepon lebih dulu.

Meski hatinya merasa sedikit curiga kalau atasannya terpaksa, Neima cukup berbesar hati atas izin yang beliau berikan. Ia lalu memanggil Hagia agar segera mandi dan menyiapkan pakaian yang lebih rapi untuk putrinya. Hagia tidak bicara apa-apa sebab dia yang biasanya mandi pukul sepuluh saat tinggal berdua dengan Aulia sekarang harus mandi lebih pagi.

"Saya menjemput Kak Nei."

"Gak perlu. Banyak kendaraan umum wara-wiri di depan."

"Tidak apa-apa, Kak, saya juga lewat sini. Kita bisa berangkat bareng," jawab Fashion sesopannya.

"Aku inginnya sendirian. Susah amat dikasihtahu?" Nadanya mulai naik.

"Saya sudah di sini. Bareng aja gimana, Kak?"

"Kubilang gak, ya, enggak! Kenapa sih jadi ikutan ngeselin juga?"

Melihat Neima betulan marah, Fashion jadi merasa bersalah. Dia meminta maaf sebelum pergi.

"Jangan seperti ini lagi," peringat Neima saat Fashion membuka pintu mobilnya.

Fashion sempat terdiam beberapa detik. Ia tak menanggapi, apalagi menoleh sambil mengiakan. Cowok itu masuk ke mobil lalu pergi dan meninggalkan tanda pamit melalui klakson dua kali.

"Hagia di rumah sendirian berani, kok. Hagia tapi gak bisa nungguin londri. Di dalam aja boleh, ya, Nei?"

Neima menatap anaknya yang sedari awal melihat perdebatan tidak penting itu.

"Ikut Nei." Neima meratakan bedak di wajah Hagia. Ia mengikat rambut panjang Hagia yang tadinya akan dibiarkan terurai.

"Boleh?" tanya anak itu sangat antusias.

Neima tersenyum kecil. "Boleh. Biar bisa ketemuan sama abang-abang SMK. Ayo, mana sandalmu? Cepat pasang."

Hagia bersorak kegirangan. Secara otomatis hati Neima tertular rasa senang juga. Secara perlahan mood-nya membaik.

Hagia menggandeng Neima hingga  depan pintu. Kali ini Neima tetap menggunakan kendaraan umum dibandingkan mengendarai sepeda motor yang hari ini tidak dipakai Aulia. 

NEIMA Berdua Paling BaikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang