004 Anak Nenek

733 118 13
                                    

"Sampai kapan payudara Nei berhenti keluar air susunya, Bu?"


Laporan dengan nada masam diucapkan Neima pada suatu siang. Dia sudah gerah karena masalah tersebut. Tiba-tiba dadanya basah dan lengket menjijikkan. Rasanya menyesakkan dan mengganggu aktivitas Neima. Neima sudah bosan berdiam diri di rumah. Dia ingin bekerja. Namun, kalau keadaannya seperti ini, masak dia harus bawa pompa ke tempat bekerja?


"Bisa berhenti kalau kau susukan si Hagia." Meida sudah sering meminta bahkan merayu Neima untuk memberikan ASI. Nah, kalau dia berbohong demi kebaikan cucunya dan Neima sendiri, tidak masalah bukan?


"Enggak, terbayang bapaknya yang gak tahu diri itu tiap lihat muka dia."


"Kalian sebagai orang tua yang salah. Seharusnya kamu bisa jaga diri. Sekarang anakmu yang menjadi korban. Minta haknya saja tidak kamu berikan. Tolong, Nei, sadarlah. Kamu ibunya Hagia. Kamu harus memikirkan dia. Cuma kasih sayang kamu yang dia butuhkan. Lihat, dia cantik, Nei. Seperti Nei sewaktu bayi."


"Malah ceramah Ibu. Nei menyesal sekali, Bu, jadi bolehkan aku melupakan semua masa lalu? Termasuk melupakan kalau aku punya bayi hasil hubungan terlarang? Ibu pun kenapa Ibu sayang sekali sama dia yang ayahnya saja tidak sayang?"


"Dia tidak salah apa-apa. Kenapa Ibu tidak boleh menyayangi Hagia? Hagia cucu Ibu."


Neima menggeram. Bukannya dapat solusi, dia malah diceramahi. Neima masuk ke kamarnya dan mengambil pompa. Wanita berkaus pendek hijau daun itu mulai mengosongkan air susunya.


"Nei! Ibu keluar sebentar. Sapi belum dikasih minum. Kamu lihatin Hagia jangan sampai jatuh. Dia sudah tidur."


Malas. Neima membatin. Siang-siang terik seperti itu, Neima suka memakai masker wajah. Neima memang tinggal di kampung, tetapi dia tidak akan terlihat kampungan. Neima menjaga bentuk tubuh juga wajahnya. Tidak sedikit pun Neima terlihat seperti wanita beranak satu kecuali payudaranya yang membesar karena berisi air susu.


Baru beberapa menit kepergian Meida, Hagia menjerit dari kamar. Anak itu benar-benar merepotkan. Neima ingin membiarkan saja Hagia memekik sendirian sampai Meida pulang, tetapi tangisan Hagia sangat kencang. Bumi bisa berguncang akibat tangisannya. Ayahnya bisa mengamuk besar sebab tidurnya terganggu.


Aben memang sedang berada di rumah. Dia tidak berangkat ke kebun karena sakit gigi. Pantangan bagi orang sakit gigi seperti Aben adalah suara bising. Aben yang pendiam juga sangat membenci kebisingan. Apalagi saat sakit seperti sekarang. Neima ingin mengomeli Hagia juga percuma. Akan lebih ribut.


"Bayi merepotkan kau, Hagia. Kapan kau biarkan hidupku tenang? Kau tahu, Hagia, tidak ada yang mengharapkan kehadiranmu! Ayahmu dan aku juga tidak. Kenapa kau masih hidup sih? Bayi lemah begini kok panjang umur?"


Saat Neima masuk ke kamar Meida, Hagia mulai menghentikan tangisan. Dia masih menangis, tetapi agak pelan. Selesai Neima menyumpahi anak itu, Hagia bergumam tidak jelas. Dalam pendengaran Neima, Hagia menyebut bu-bu yang artinya ibu, kemudian menangis lagi.


"Apa sih, Hagia? Berisik sekali."


Hagia bangun dari posisi berbaring, lalu tengkurap. Kedua lututnya ditekan ke kasur, kemudian tangannya menjangkau ke atas ke arah Neima.

NEIMA Berdua Paling BaikWhere stories live. Discover now