006 Mantan Itu Sampah

749 130 19
                                    

Mundur dulu ya sebentar, nanti maju lagi alurnya.

***

Dua tahun yang lalu ...

Seruling mengalun sahdu di siang yang terik. Terdengar jauh dari kediaman keluarga Aben, ayah Neima. Sayup-sayup justru menambah melankolis perasaan yang mendengar suara tersebut. Alunannya seakan mengantarkan kabar duka akan kehilangan dan kesepian. Begitulah yang terjadi di salah satu kamar rumah Aben. Raga yang terlihat letih tak bergairah hidup itu bersandar di atas tempat tidur. Matanya menatap kosong ke depan, walaupun bukan pigura berisikan ayat Kursi yang ia tatapi. Alunan seruling menemani jatuh setetes demi setetes air mata perempuan itu. Nada masih mengalun dan air mata Neima semakin kencang turunnya. Lama-kelamaan pundaknya bergetar.

Apa kesalahan Neima kepada Dika? Tak hentinya Neima bertanya-tanya. Kenapa Dika yang dahulu berjanji akan membahagiakannya justru memilih lari tepat saat anak mereka lahir? Bahkan sejak menikah, Dika mulai menjauh. Neima tidak berpikir macam-macam sewaktu Dika jarang pulang. Ia positif thinking kalau Dika tengah sibuk dengan pendidikan. Neima tidak menaruh kecurigaan bahwa Dika pada akhirnya bosan. Penegasan Dika, dia akan mengurus usaha ayahnya, sementara Neima tidak ia bawa, membuat seluruh harapan Neima menguap. Dika tidak lagi menginginkan Neima di sisinya. Untuk apa dia melahirkan anak pria itu kalau hanya berakhir dicampakkan seperti sekarang?

"Terkutuk dirimu, Dika. Aku takkan memaafkanmu. Aku tidak terima." Neima mengusap kasar matanya. Kemudian ia menarik selimut untuk membersit hidung yang kebanyakan cairan. "Is! Hidung ini udah kayak sawah aja becek."

Kaki bercelana sepaha itu melangkah keluar dari persembunyiannya. Setiba di dapur, Neima mendengar suara ibunya tengah bicara sendiri. Ibunya tidak gila karena sebetulnya ada lawan bicara. Hanya saja, bayi merah tahu apa?

"Maa ... Hagia sudah wangi, barusan mandi sama Nenek. Hagia diusap dulu sama minyak telon supaya hangat. Biar wangi. Mama mau gendong Hagia kalau sudah cantik."

"Untuk apa Ibu mengurus dia? Buang saja. Pekerjaan Ibu masih banyak yang lain." Neima meletakkan gelas ke meja setelah meminum setengah isinya.

Meida tak menggubris putrinya. Wanita di akhir lima puluhan tersebut menggendong cucunya ke hadapan Neima. Ia tidak peduli dengan kalimat kebencian yang selalu diucapkan Neima kepada Hagia, anak yang lahir dari rahimnya sendiri. Neima tidak mengetahui perjuangan Meida dan Aben sebelum kelahiran Neima. Tuhan sangat lama menganugerahi anak ke rahim Meida. Itulah sebabnya rentang usia Meida dan Neima terpaut sangat jauh. Meida mengandung Neima di usianya yang ke-37 tahun. Sementara Meida menikah saat usianya 21 tahun. Sama dengan usia Neima sekarang.

"Coba kau gendong Hagia sekali saja."

Sebelah bibir Neima naik. "No. Dia penyakit. Asuh sendiri oleh Ibu." Neima sama sekali tidak melirik wajah bayi di tangan ibunya. Ia melangkah lebar-lebar ke luar.

Neima harus berdiri di pinggir halaman agar mendapatkan jaringan internet. Dia akan menghubungi Dika. Kalau perlu melempar kotoran sapi ke muka lelaki itu. Sekarang Neima ingin tahu di mana dia bisa menemui Dika. Ibunya takkan mau memberikan ongkos dua kali jika kepergian yang pertama gagal.

Nomor Dika tidak bisa dihubungi. Sekali lagi Neima mencoba dan hasilnya sama saja. Mungkinkah Neima telah diblokir? Perempuan berkaus pas badan tersebut memegang gawainya erat-erat. Kemarahan di matanya tak meninggalkan jejak kesedihan sedikit pun. Kobaran di matanya seolah ingin mencabik-cabik seseorang.

"Awas saja sampai aku menemukanmu, sialan!!!" teriaknya dan suara itu bergema di sekitar.

"Nei! Sudah gila? Kenapa teriak-teriak?"

Neima melirik Meida dan tentu saja ada Hagia bersamanya. Ia mendengkus melihat bayi itu dan menghampiri Meida. Neima merebut Hagia dari ibunya.

"Hati-hati, pelan-pelan saja," sela Meida waktu Neima membawa Hagia. Ia cukup terkejut karena ini pertama kali Neima menggendong Hagia. Namun, kedua matanya terbelalak dan pekikannya pecah saat menyaksikan Neima menaruh Hagia di kandang sapi.

NEIMA Berdua Paling BaikDove le storie prendono vita. Scoprilo ora