003 Hidup Tanpa Gairah

1K 131 6
                                    

Neima bukanlah gadis yang terlahir dari keluarga kaya. Ayahnya seorang petani yang bekerja dengan orang lain. Keluarga mereka cuma memiliki sepetak sawah dan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Aben membantu tetangganya setiap masa bersawah, mulai dari mencabut bibit, mencabut padi, hingga menjemur. Aben juga membawa berkarung padi menggunakan gerobak untuk menolong tetangga yang tidak memiliki pick up dari rumahnya ke tempat penggilingan padi. Sementara itu, Meida hanyalah ibu rumah tangga. Mereka tidak memiliki kebun yang lebar. Paling tidak ada tiga pohon asam kandis, enam pohon pala, dan dua belas batang pinang yang tumbuh di pinggir halaman rumah sederhana. Meida mengambil pinang tua dan membelahnya untuk dijemur, kemudian dikupas. Butuh waktu lama hingga pinang terkumpul untuk dijual. Sementara untuk tanaman rempah, cukup mahal jika dijual. Sayangnya, tidak menghasilkan banyak. Ada seorang kerabat jauh yang mempercayakan Meida untuk menggembalakan sapinya. Hasilnya akan dibagi dua. Dari sanalah biaya kuliah Neima dahulu.


Neima mencari-cari Meida di sekitar rumah karena Hagia menangis. Usia anak itu telah sembilan bulan. Tangisannya membuat emosi Neima mencuat ke ubun-ubun.


"Bayi kecil! Berisik sekali kau!" bentak Neima. "Ke mana nenekmu? Ah, kan karena kau ini!" Neima mengomeli bayi yang belum mengerti perkataannya itu. Masker di wajah Neima telah retak seperti sawah kering di musim kemarau.


Hagia mengeluarkan seluruh suaranya seolah meminta ibu untuk menggendongnya. 'Ibu, anakmu merindukanmu.' Tangisan itu tidak menyentuh naluri Neima. Yang ada dia semakin belingsatan membentak bayi yang tidak tahu apa-apa itu.


"Sabar. Sabar. Untung bayi, kalau tidak ... hih!" Neima membasuh mukanya. Dia menepuk-nepuk kecil pipinya.


"Lama-kelamaan bisa-bisa jadi bibi tua aku di sini. Anak kurang ajar kerjanya bikin emosi terus!" umpatnya.


"Hagia! Bisa diam tidak? Mau kusumpal mulutmu dengan bantal guling?" Neima berdiri di pintu kamar Meida dan memperhatikan Hagia yang terus menangis.


"Aaah!" Neima berbalik badan untuk menjauhi gadis yang tidak mendapatkan kasih sayang ayah dan ibunya itu.


Neima tidak ingin menyentuh gadis kecil itu sama sekali. Dia malas repot-repot mendekat hanya untuk meletakkan bantal di mulut Hagia. Dia saja yang pergi agar telinganya selamat dari polusi suara. Neima mengenakan celana training cokelat tua dan hoodie masa dia kuliah dulu. Dia mengikat rambutnya tinggi-tinggi lalu memasang sepatu. Neima selalu lari sore sampai azan magrib berkumandang. Dia berhenti bukan karena akan menunaikan ibadah wajib tersebut. Neima hanya tidak mau dikata-katai oleh tetangga jika melihat dirinya masih berkeliaran di jalan pada waktu-waktu tersebut. Neima paling benci menjadi topik tukang gosip. Padahal, mau salat atau tidak, itu urusan Neima dengan Tuhan. Para tetangga tidak akan ada saat Neima ditanyai oleh malaikat perkara salat.


"Nei! Kenapa di luar? Hagia dengan siapa?" Neima bertemu dengan Meida yang memegang ranting kayu. Meida sedang menyuruh sapinya pulang ke kandang.


"Ibu tadi pesan agar kamu di rumah dulu sebelum Ibu pulang. Ayah di rumah Pak Kardi sampai malam. Hagia sendirian di rumah."


"Makanya Ibu tuh langsung pulang. Kalau tidak, dia nggak akan berhenti menangis. Cepatlah, Bu, sebelum tetangga datang dan membuang Hagia ke sungai."


Meida tidak dapat berkata-kata. Dia sudah mencoba bicara dengan Neima dari cara baik-baik sampai marah-marah agar Neima perhatian kepada Hagia. Hasilnya tidak ada sama sekali. Hagia seolah orang asing yang hadir di rumah itu dan mengganggu hidup Neima. Jangankan menyusui, menggendong Hagia saja Neima belum pernah.


"Neima!" geram Meida dan lekas pergi dari sana.


Meida cepat-cepat mengikat tali sapi ke kandang. Dia mencuci tangan, muka, dan membuka pakaiannya lalu memakai kain sarung. Itulah cara tercepat dibanding mencari baju bersih dari lemari. Meida ingin segera menggendong cucunya. Hati nenek itu terenyuh melihat cucu perempuan menangis kejang di atas tempat tidur. Neima tidak merasa dirinya adalah ibu Hagia. Jangankan ibu, Neima bahkan tidak menganggap Hagia sebagai anggota keluarga.


Sejak Hagia lahir, pekerjaan Meida menjadi semakin banyak. Namun, nenek muda itu bahagia. Dia berusaha kerja lebih keras untuk membelikan Hagia susu. Meida tidak mau Hagia seperti Neima. Neima dahulu diberikan makanan seadanya. Menurut Meida, selain ASI bayi juga butuh susu tambahan agar perkembangan volume otaknya sempurna. Neima tidak sepintar teman-temannya. Tidak sekali pun rapot Neima bertuliskan peringkat. Neima kecil sampai remaja juga bukan anak yang suka bolos. Neima sangat rajin datang ke sekolah dan tidak pernah bermasalah di sekolah. Meida tidak pernah menerima surat panggilan. Meskipun begitu, rapot Neima kerapkali memuat nilai merah. Maka dari itu, Meida ingin Hagia mendapatkan suplemen dan vitamin agar pertumbuhan otaknya bagus. Begitulah pikiran nenek yang amat mencintai cucunya itu.


"Hagia rindu sama ibu? Nanti malam kita ke ibu. Diam-diam."


Begitulah yang dilakukan Meida selama ini. Neima yang tidurnya bagaikan pingsan tak menyadari kalau setiap malam, Meida menggendong Hagia ke kamar Neima. Hagia ditidurkan di sebelah Neima bahkan Meida memasukkan puting Neima ke mulut Hagia. Tidak banyak air susu yang didapatkan Hagia, tetapi Meida yakin ikatan ibu dan anak itu nantinya akan kuat. Meida membawa Neima ke kamarnya lagi sekitar pukul tiga. Meida juga tertidur dan terbangun bagaikan ada alarm di telinganya. Neima tidak menangis ketika bersama Neima. Meida selalu berharap hal yang setiap malam ia lakukan akan berlangsung secara alami atas kemauan Neima sendiri. Setiap salat malam, Meida menyelipkan doa tersebut.


"Hagia kalau sudah besar mau jadi pemain sinetron? Dari sekarang Hagia belajar berakting depan ibu. Pura-pura tidak tahu sama ibu. Malam-malam ibu adalah punya Hagia. Yuk, Hagia mandi dulu."


Neima pulang sekitar waktu magrib seperti biasa. Dia bertemu Meida yang memangku Hagia di teras depan. Bau bedak bayi dan minyak telon tercium ketika Neima menginjak lantai. Dia mengabaikan bau segar tersebut dan ingin secepatnya mandi. Ada hal yang selalu mendesak dan wajib Neima lakukan setiap hari. Begitu tubuhnya bersih, Neima duduk di atas tempat tidur lalu mengambil sebuah alat. Neima belum memakai bajunya dan hanya mengenakan bra. Dibukanya kain tersebut lalu menekan alat ke salah satu payudara. Dia akan menunggu sampai air susunya berpindah ke dalam tabung. Kedua-duanya.


Awalnya, Neima membuang ASI-nya. Begitu ketahuan oleh Meida, Neima diomeli habis-habisan. Meida tidak memaksa Neima menyusui bayinya, tetapi jika dia membuang makanan anaknya sendiri, Neima sudah sangat keterlaluan. Neima tidak perlu bekerja untuk memberikan Hagia makanan, hanya makan yang Meida masakkan supaya ASI-nya cukup. Neima akhirnya meletakkan plastik yang berisi ASI di dalam freezer. Meida bahkan membeli lemari pendingin milik tetangga demi mengawetkan ASI yang dipompa Neima.


"Ibu lagi buatin Hagia makanan tuh. Kita tunggu ibu selesai. Minum yang ada dulu," kata Meida setelah mengajak Hagia mengintip ke kamar Neima.


Neima yang bodoh tidak merasa perlu mengunci kamar. Dia hanya tinggal dengan ayah dan ibu yang setahu Neima tidak pernah masuk ke kamarnya sekali pun untuk bersih-bersih. Karena sejak kecil, Neima dibiasakan membersihkan kamarnya sendiri. Bayangkan saja jika sampai Neima tahu apa yang dilakukan Meida selama ini?


***

bersambung ...

5 November 2022

Bagi Neima semua  mudah, dari hamil, lahiran, dan meng-ASI. Entahlah, mungkin di luaran sana banyak yang berharap seperti Neima. Tapi ini Neima ... Dia memiliki kesempatan, tapi tidak dengan keinginan. 


NEIMA Berdua Paling BaikWhere stories live. Discover now