019 Hagia

468 84 17
                                    

"Neima." Asumi menghampiri Neima yang baru saja tiba di halaman gedung dinas pendidikan setempat.

"Kak Asumi. Dena dan Fashion sudah sampai?" Neima mencari sekeliling mereka. Beberapa orang yang sudah datang memakai seragam kuning khaki seperti mereka.

"Dena di jalan. Pak Ion—" Asumi mengedarkan pandangan mencari pak guru itu. "Baru datang tuh," tunjuknya ke arah sebuah mobil yang datang dari arah luar.

Neima melihat ke arah kendaraan roda empat itu. Dan seperti apa yang dikatakan Asumi, Fashion turun dari salah satu pintu depan. Seseorang keluar dari pintu lainnya. Neima dan Asumi tetap di tempat sebab Fashion juga sudah melihat keberadaan mereka.

"Kemarin bertemu Pak Ion di sana?"

Neima menggeleng, "Dia ikut acaranya?"

Asumi menggerakkan lehernya ke atas dan ke bawah dua kali. "Aku pikir kalian janjian karena tidak ada jadwal."

Neima menggeleng lagi. "Kukira kalian tidak ingin ikut acara itu."

Asumi mengiakan. "Aku tidak begitu peduli pada acara simbolis. Lagian bikin capek diri sendiri bolak-balik luar kota dalam sehari."

"Kak, kau tidak akan tahu betapa berkesannya seluruh usaha kita selama ini ketika mereka memutar kilas balik pencapaian kita sampai hari ini. Aku suka mengikuti setiap detail prosesnya."

"Saya juga," sambar lelaki yang baru bergabung dengan Neima dan Asumi.

"Kamu Neima Devira?" tanya wanita yang datang bersama Fashion.

Neima mengerutkan alisnya. Oh, ia baru ingat bahwa di dadanya terdapat name tag dengan nama lengkap.

"Iya."

Wanita itu mengulurkan tangan, "Saya Riris, ibunya Fashion." Senyuman Riris lebar sekali, membuat Neima ketularan saat menjabat tangan dan menyebutkan namanya.

Fashion justru menekuk muka melihat Neima tersenyum seindah itu. Cowok dengan pakaian dinas itu mengalihkan pandangannya ke arah lain. Sejak melihat Neima kemarin, otaknya selalu menayangkan wajah wanita beranak satu itu. Senyuman Neima hanya membuat 'penyakit' yang menyerang semakin parah saja.

"Si gadis kecil mana? Tidak diajak?"

"Anakku?" tanya Neima memastikan dan Riris mengatakan iya. "Di rumah."

Riris melirik Fashion. Ia teringat kembali perdebatan mereka saat Fashion menuduhnya fitnah. Riris ingin membuktikan kalau dia tidak salah.

"Dengan siapa? Sendirian?"

Neima menggeleng untuk ketiga kalinya sejak berdiri di sana.

"Oh maaf. Saya ini penasaran sama kamu dan anak kecil di foto profil kamu. Saya pikir kalau datang ke sini, bisa ketemu kalian berdua. Memangnya suami kamu gak ikut menemani?"

Neima lagi-lagi menggerakkan leher.

"Hai, semua. Sudah dari tadi?" interupsi Dena yang baru bergabung dalam kelompok itu. Napasnya sedikit tersengal akibat berjalan dari parkiran.

"Yon. Ternyata berbeda," bisik Riris dan hanya Fashion yang mendengar.

"Udahlah, Mimi, gak usah tanya-tanya. Gak enak tau sama Kak Nei. Dia nggak nyaman dengan kita."

Riris setuju. "Tolong bimbing Fashion, ya." Mimi Riris berpamitan kepada mereka semua.

Karena waktu sudah menunjuk pukul sembilan, guru-guru tersebut harus segera masuk ke ruangan.

"Kau datang ke acara kemarin? Gak bilang-bilang." Suara Neima terdengar kesal.

Fashion geregetan. Ingin sekali ia meneriakkan jika dia melihat Neima di pelataran. Neima saja yang tidak menyadari sekitarnya.

NEIMA Berdua Paling BaikWhere stories live. Discover now