008 Mulai Sempurna

587 117 23
                                    

Halo, Kasev update lagi karena senang dengan tanggapan kalian sama cerita ini.  Selamat membaca Bahagia.

***

Sepulang dari kota, Hagia mengalami demam tinggi. Neima tidak menjelaskan ke mana dan apa yang dia lakukan bersama Hagia. Saat Neima pergi, hanya dia dan Hagia yang berada di rumah sehingga Neima tidak berpamitan. Orang tuanya menebak bahwa Neima pasti mencari Dika. Namun, aneh saja saat Neima membawa Hagia ikut dengannya. Selama dua tahun hidup bersama Hagia, Neima paling anti dengan putrinya.

Keadaan Neima juga tidak dapat dikatakan baik-baik saja. Mata Neima sembab dan ia banyak diamnya. Neima sudah absen dua kali lari sore yang biasanya tak pernah ia tinggalkan. Ibunya Hagia itu hanya duduk di kamar, seperti masa-masa berkabung di awal kepergian Dika.

Hagia sedang diberi makan oleh neneknya. Meida menggendong Hagia di halaman rumah sambil menyuapkan bubur dicampur sup ayam. Susah sekali anak itu menelan. Hagia tak berselera makan sama sekali.

"Bu." Meida tersentak saat bahunya ditepuk.

Neima berpakaian kaus putih dan ketat serta celana olahraga. Rambutnya yang panjang dikumpulkan dan diikat tinggi tanpa sentuhan sisir. Tubuh yang sedikit berlemak meski tidak gendut itu terlihat lebih bergairah dibanding tadi sewaktu Meida keluar. Aroma sabun mandi menguar dari wanita itu. Pertanda Neima mandi dulu sebelum ke sana.

"Gantian. Sini Hagia dengan aku." Tak menunggu respon, Neima melepaskan belitan kain gendongan pada tubuh Meida. Dia mengalungkan kain panjang tersebut ke tubuhnya lalu mengambil alih Hagia.

"Tolongin ini gimana mengikatnya biar kuat?" Neima mengambil mangkuk makanan milik Hagia dari tangan ibunya agar leluasa membantu mengaitkan kain tersebut.

"Nei mau ajak jalan ke sana. Dah Ibu masuk aja."

Meida betul-betul senang dan haru melihat Neima. Cepat ia menyeka matanya yang hampir berjatuhan air. Meida tersenyum melepas kepergian Neima bersama Hagia. Manis. Sungguh itu adalah pemandangan terbaik sejak beberapa waktu lalu Hagia disapih.

Neima melewati jalanan kampung rute biasanya ia lari sore. Dia melihat anak lain berada dalam stroller dan walker. Beberapa anak yang seusia Hagia bermain sepeda diawasi orang tuanya. Ia tersenyum kecil mengingat ibunya belum membelikan Hagia kereta-kereta tersebut.

"Kamu mau sepeda kayak gitu, Hagia?" tunjuk Neima kepada anak-anak tersebut.

"Iya. Walna pink, ya, Ne."

"Makan yang banyak biar sehat. Nanti kita beli yang pink."

"Iya. Hagia mau makan. Ne capek? Hagia jalan ke sana, Ne, dekat Cila."

"Jadi anak baik, ya." Neima melepaskan ikatan gendongan. "Tapi makan dulu sesuap lagi."

Hagia menelan dan meminta minum. Dia langsung berlari kecil ke kumpulan teman-temannya. Anak itu berjongkok dari jarak agak jauh, tak terlalu dekat dengan arena permainan.

Hagia mengingatkan Neima kepada dirinya. Sebagai anak orang tidak mampu, ketika melihat sesuatu yang menarik yang tak bisa ia miliki, Neima hanya mengagumi.

Dari kejauhan terlihat seorang remaja berlari sambil menangis. Di belakangnya ada pria paruh baya yang mengejar dengan balok kayu. Neima menyadari situasi bahaya tersebut, seperti orang tua yang lain. Mereka semua mengamankan anak masing-masing. Meski sepertinya sang ayah hanya menuju anaknya, semua orang cemas lemparan batu dari tangan pria itu akan mengenai mereka.

Si gadis remaja berlari ke arah Neima. Mungkin remaja tersebut berharap ayahnya tak akan melempar dan memukulnya di antara orang banyak. Neima tidak melihat keberadaan Hagia. Ia kehilangan putrinya sewaktu memperhatikan dua orang yang berseteru.

NEIMA Berdua Paling BaikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang