025 Sembunyi

359 90 28
                                    

Matahari mulai merambat melalui kaca jendela di saat penghuni sebuah kamar tengah bersiap dengan aktivitas masing-masing. Delsa selesai meletakkan pakaian kerja untuk suaminya di atas tempat tidur yang telah ia rapikan ketika Dika mandi.

"Kapan kau resmikan pernikahan kita? Dito hampir tiga tahun. Dia butuh pengakuan hukum."

Dika memasang satu kancing kemeja terakhir, lalu memakai celana panjang yang telah tersedia di ranjang. Ia hanya melirik sang istri dengan malas. Begitu semuanya rapi, Dika mengecek rambut dan seluruh badan di cermin. Oke, dia siap meninggalkan omelan perempuan itu sampai sore nanti. Bisa saja hingga tengah malam karena Dika lebih memilih kumpul bersama rekannya daripada pulang di waktu lepas kerja.

"Kau dengar tidak, sih? Aku butuh surat nikah! Kau tidak bisa memperlakukan aku seperti ini!"

"Kau bilang, tidak perlu peresmian atau segala macam tentang itu." Terpaksa Dika mengingatkan perjanjian awal mereka.

Mabuk cinta masa lalu membuat Delsa menyetujui pernikahan siri saja.

"Itu dulu." Delsa mengenang kepanikan dan ketergesaan yang dialami dulu, sehingga tak bisa menunggu sampai Dika mengurus perceraiannya.

"Aku akan mengurus dokumennya sendiri." Delsa mengultimatum.

"Terserah kau." Lelaki itu meninggalkan rumah dengan santai tanpa repot-repot mengulurkan tangan untuk diciumi Delsa seperti dahulu.

Seorang anak lelaki menabrak kakinya di pintu. Bocah tersebut mengusap keningnya sendiri dan tersenyum cerah. Tangannya yang kecil mengangkat sebuah mobilan untuk ditunjukkan kepada Dika.

"Ini punya aku seperti mobil Ayah," pamernya dengan kata-kata yang cukup jelas untuk usianya.

Dika mengangguk kemudian berjalan cepat menuju garasi.

Delsa menyaksikan interaksi tersebut dengan kesal juga iba kepada sang putra. Ia segera menarik tangan Dito masuk dan mengajak untuk minum susu.

"Cowok gak minum susu!" tolak Dito, berlari melepaskan diri dari ibunya.

"Hei! Siapa yang bilang begitu?" Terpaksa Delsa berteriak dan menggeleng-geleng melihat sikap sok dewasa putranya itu.

Segalanya telah berubah. Delsa amat khawatir jika Dika meninggalkan dirinya, melihat perlakuan Dika yang makin ke sini semakin berubah. Segala perhatian yang diberikan lelaki itu kini tak seperti dulu lagi. Delsa butuh sebuah pengikat supaya dia tak semudah itu ditinggalkan. Terlebih yang resmi saja segampang itu dilepaskan oleh suaminya.

Sementara itu, Dika kembali mendatangi kediaman orang tua Neima. Lagi-lagi ia bolos bekerja demi mengintai rumah mantan mertuanya. Dari mobilnya Dika melihat Meida, ibu Neima, keluar dari rumah dengan gaya khas ibu-ibu kampung. Bajunya lengan panjang, roknya hanya sebuah kain sarung, dan kepalanya ditutup kain juga. Meida berjalan kaki dengan santai menuju belakang rumah. Menurut cerita Neima, ibunya akan mencari pinang dan pala lalu dijemur untuk dijual. Alih-alih membawa karung, Dika justru menyaksikan Meida kembali dengan menarik daun kelapa lengkap dengan pelepahnya ke halaman rumah.

Ayah mertua, ralat mantan ayah mertua yang bernama Aben, baru saja keluar dan menemui Meida yang telah menjatuhkan daun kelapa ke tanah. Mereka kelihatan berbincang sebentar. Setelah itu, Meida mengambil tangan Aben untuk disentuhkannya ke ujung hidung. Dika masih berharap satu orang lagi keluar dari rumah tersebut.

Tahun demi tahun telah terlampaui dan sekarang ia sangat ingin melihat perempuan yang pernah membuat ia jatuh dalam kubangan cinta tanpa syarat. Ia menyadari bahwa segala sesuatu yang berlebihan bagaikan kembang api. Pada awalnya akan meledak-ledak dengan cahaya yang terang lalu lambat laun akan meredup dan mati. Seperti perasaan Dika kepada Neima sehingga mudah sekali ia berpaling saat api itu padam. Namun, tak dapat disangkal bahwa cinta pertama meninggalkan jejak yang sangat dahsyat dan tidak semudah itu ia melupa.

NEIMA Berdua Paling BaikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang