3 hari

122 16 0
                                    


"Masih banyak aja polisi di depan komplek lo,"

Felix menyambar sekantong buah-buahan yang disodorkan oleh Leon, kemudian meletakkannya ke atas meja. "Iya nih, tiap malam bahkan ada yang patroli sampai masuk ke dalam lahan kosong di belakang," ia menimpali.

"Keluarga lo nggak ada rencana mau pindah rumah aja, Lix? Udah pasti bakalan angker ini komplek. Gue ada nih rumah baru yang mau dijual. Lumayan murah loh, selain itu nggak kalah elit sama perumahan di sini. Cocok pokoknya untuk para sultan," Mervin menawarkan sembari bergurau kecil.

"Otak lo ya, kebiasaan banget cari untung di kondisi begini. Emang dapat komisi berapa lu?" Ucapan Raffi yang semula menentang dilanjutkan pertanyaan kepo pun lantas dihadiahi umpatan kecil dari teman-temannya.

Leon menggeleng miris menyaksikan tingkah kedua temannya itu. "Emang nggak ada yang beres lu berdua," kekehnya tak habis pikir.

"30 persen, cuy," ungkap Mervin yang seketika membuat mereka tersedak karena kaget. Bahkan Felix yang sedang mencuci buah pun langsung membalikkan badannya dengan ekspresi tak percaya.

"Banyak banget, anjir," Raffi pongah mendengarnya. Sungguh komisi yang sangat fantastis.

"Ekhem," Dehaman Leon memusatkan perhatian mereka. Bisalah bagi-bagi," rayunya tersenyum sok manis.

Memutar bola mata malas, Mervin berdecak pelan. "Heleh, tadi aja sok ngata-ngatain gue lo, sapi," ejeknya pada Leon.

Felix menggelengkan kepalanya seraya tersenyum tipis melihat kelakuan mereka, lantas melanjutkan kegiatannya yang sempat terhenti. Sejenak, dia melirik pada Genta yang tengah sibuk bermain ponsel tanpa terusik dengan keributan yang ada. Obrolan mereka tiga hari yang lalu masih begitu membekas di ingatan Felix. Rasa kesal dan marah tak lagi meliputi hatinya namun bukan berarti keduanya sudah kembali berinteraksi seperti sedia kala. Hingga kini keduanya masih saling mendiamkan satu sama lain, itupun tanpa ada yang curiga. Baik Felix maupun Genta sama-sama bisa berakting untuk terlihat biasa saja dihadapan teman-temannya.

"Lix, emang beneran rumah yang digaris polisi itu orangnya bunuh diri? Atau dibunuh sih?" Tanya Mervin penasaran.

Mengedikan bahunya, Felix menanggapi dengan santai sembari sibuk mengusap-usap buah di wastafel. "Kabarnya sih dibunuh. Soalnya ada bercak darah yang ditemukan berceceran mengarah ke pintu belakang rumahnya. Tapi sampai sekarang polisi masih belum nemuin bukti apa-apa," ia menuturkan apa yang diketahuinya dari sang mama tadi pagi.

Gosip ibu-ibu memang selalu cepat sampai kemana-mana dan anehnya hampir semua yang dikatakan itu benar adanya. Kadang keahlian para ibu-ibu ini memang patut diacungi jempol. Belum lagi tebakan mereka yang juga seringkali tidak pernah meleset. Ibaratnya kaum wanita itu bisa dibilang detektif keliling. Nyaris semua informasinya valid.

"Gila juga ya, udah hampir seminggu masih belum terungkap. Entar kayak kasus yang ono tuh, nggak kelar-kelar beritanya karena kebanyakan teori." Ucap Leon prihatin sekaligus miris.

"Jangan-jangan pelakunya serial killer." Terka Mervin. "Berarti pasti akan ada korban lainnya yang dia incar. Hati-hati lo, Lix. Mungkin aja elo korban selanjutnya_"

Plakk

"Si ege minta digampar aja," omel Felix usai melayangkan tamparan kecil ke kepala Mervin.

Temannya satu itu memang suka berbicara yang tidak-tidak. Dia pikir Felix tidak khawatir apa? Seluruh warga bahkan sedang waspada saat ini karena takut terjadi pembunuhan lagi. Mengingat bagaimana sadisnya cara korban yang ditemukan meninggal tersebut, rasanya tidaklah mungkin pelaku itu seorang amatiran. Makanya, untuk menanggulangi kejadian serupa, polisi setiap malamnya ditugaskan untuk berkeliling lokasi sekitar demi memastikan keamanan selama tersangka belum terungkap. Sebab, bisa jadi pelaku pembunuhan sebenarnya orang terdekat atau salah satu warga di sana. Tidak ada yang memungkirinya.

Sleeping beauty {END}Where stories live. Discover now