Beban berat

115 17 0
                                    

"...........Pertama kali melihatnya tadi, saya sudah tahu tujuan dia kemari. Beratnya beban yang dia tanggung sendiri rasanya mustahil bisa bertahan dengan mudah,"

"Maksud bapak?" Dia tidak mengerti mengapa pria berseragam polisi itu berkata demikian tentang adiknya.

"Kamu tidak akan pernah memahaminya kalau keyakinan kamu setipis ini," pak Sadewa menyatukan jari telunjuk dan ibu jari hingga tak ada celah yang tercipta. Sedangkan Felix hanya bisa mengerutkan keningnya. "Dia itu anak yang istimewa, dan sejujurnya kemampuannya akan sangat dibutuhkan dalam proses penyelidikan kasus ini." Lanjutnya lagi.

Felix mencoba menyadarkan diri dari ekspresi tidak percayanya akan penuturan tersebut. "Pak. Bapak nggak berpikir bahwa adik saya tahu semuanya, kan?" kali ini dalam dialog nadanya terdengar sedikit kekhawatiran.

Mengangguk mantap, pak Sadewa justru semakin membuat cowok itu keheranan. "Dia memang tahu semuanya. Barang bukti yang tadi ditemukan dan yang kamu lihat, itu berdasarkan aduannya sendiri."

Tercengang, Felix lantas menyangkalnya cepat. "Nggak, pak. Nggak mungkin, saya nggak percaya. Bapak pasti sedang berbohong atau apalah itu, yang jelas Flo tidak ada sangkut-pautnya dengan kasus ini." Dia menampiknya. "Malahan asal bapak tahu, adik saya hampir nggak pernah main ketempat ini bahkan sebelum kejadian pembunuhan terjadi. Ini pasti hanya kebetulan waktu dia lewat dan tidak sengaja menemukannya,"

"Kebetulan yang masuk akal menurut kamu?"

Menghembuskan napas panjang, ia tetap berusaha menolak percaya. "Pak, apa bapak betul-betul mempercayai ucapan adik saya? Maksud saya untuk orang sekelas bapak, seorang anggota polisi bermartabat bisa memegang perkataan tak masuk akal begitu? Jangan bercanda pak,"

Pak Sadewa menaikkan sebelah alisnya. "Kenapa? Kamu tidak menerimanya?"

Felix tersenyum tak percaya. "Tidak ada bukti, pak. Sudahlah, lebih baik sekarang bapak izinkan saya membawa adik saya pergi. Saya mohon pak, sebelum orang lain melihat atau nanti akan timbul beragam gosip tentang ini. Saya nggak mau ya keluarga saya diseret-seret,"

Lelaki berseragam polisi itu menggeleng tak habis pikir. "Saya heran, entah moral apa yang dipelajari anak-anak zaman sekarang. Satu ingin membantu, satu mencoba menghalanginya,"

Sontak dengan raut terkejutnya Felix langsung memusatkan pandangannya pada pak Sadewa yang berujar demikian. Tentu saja dia tersinggung soal moral. "Kenapa jadi bawa-bawa moral ya, pak? Saya kesini cuma mau menjemput adik saya. Dan juga, jangan sangkut-pautkan adik saya dalam kasus ini. Apalagi ini soal pembunuhan yang juga bisa mengancam nyawa Flo kalau kabar kesaksian ini diketahui oleh pelaku. Lagipula adik saya itu memang sering berhalusinasi, pak. Jadi tolong,  bapak jangan terlalu menganggap serius ucapannya," tuturnya menggebu-gebu dan penuh harap.

Pak Sadewa terdiam beberapa saat, sebelum akhirnya mengangguk singkat. "Saya tahu kamu tidak akan mempercayai apapun yang adikmu katakan. Sangat terlihat dari manik mata sendunya itu," ia menunjuk Flo dengan lirikan mata. "Sebelumnya saya tidak pernah memaksa ataupun mencurigai Florencia, tapi dia sendiri bersikeras ingin berbicara. Maka yang  saya lakukan hanyalah sekadar mendengarkan. Asal kamu tahu, kalimat pertama yang dia ucapkan tadi ialah hendak mencari orang yang mau mendengarkan ceritanya. Saya hanya memberi dia telinga.  Dan satu lagi, dia kesini juga bukan untuk mengungkapkan sebuah kebenaran, tapi menemui seseorang yang bisa menampung keluhannya. Tolong garis bawahi itu,"

Terhenyak. Felix bungkam seribu bahasa atas kalimat yang dilontarkan kepadanya. Perkataan pak Sadewa seakan menampar dirinya terkait sikapnya yang selalu menentang saat Flo tengah menceritakan hal-hal tak masuk akal yang konon dialaminya. Baru kali ini rasanya mendengar kalimat yang begitu menohok. Flo memilih mencari orang lain dibandingkan orang-orang terdekatnya untuk diajak bercerita.

Sleeping beauty {END}Where stories live. Discover now