21. Keterbukaan

91 25 73
                                    

Bagian ini sedikit flashback, sambungan Tentang Jimin pt2. Dari yang setahun setelah kepergian Mama.

Chapter ini juga berisi pembahasan yang sedikit sensitif. Tolong jangan menyamakan/memasukkan karakter dalam cerita ini sama yang ada di RL.

 Tolong jangan menyamakan/memasukkan karakter dalam cerita ini sama yang ada di RL

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


"Jangan marah padaku, Jeong. Aku khawatir."

Sebenarnya Jeongyeon tidak punya alasan yang cukup jelas untuk marah pada Seokjin. Pertama, sudah sewajarnya Seokjin memberikan sedikit peringatan. Dan yang kedua, Seokjin memberi peringatan masih belum melewati batas yang benar-benar mengekang. Hanya saja, rasanya agak aneh sebab apa yang dikatakan Seokjin benar-benar mengganggu kepalanya. "Aku tidak marah," balas Jeongyeon agak ketus. Tetap saja Seokjin menyadari adanya intonasi bicara yang jauh berbeda dari sosok adik manjanya itu.

Seokjin cuma bisa menghela napas. Dia jelas jauh lebih tahu dengan segala jenis permasalahan. Dan tentang marah tidak marah, merajuk atau manja seperti ini adalah hal paling klise yang terlampau mudah untuk ditangkap. Jeongyeon itu kesal, hanya saja dia pura-pura. "Jeongie dengar ... aku akan biarkan kau berpikir dulu. Nanti kita bicara okey? Jangan terlalu mudah ikut-ikutan sama orang asing." ucap Seokjin tatkala dia menoleh ke kursi belakang tepat ketika sang adik hendak turun dari mobil.

"Ya ya ya. Lagi pula aku tidak punya hubungan apapun dengan dia. Kami cuma ada 'agak' sering bertemu akhir-akhir ini." Setelahnya Jeongyeon langsung pergi keluar dari mobil sang kakak yang terparkir di depan gerbang tanpa peduli lagi meskipun Seokjin menyerukan namanya berkali-kali. "Oppa, sudah senja. Pulang saja sana!" teriak Jeongyeon berharap Seokjin akan langsung pergi alih-alih meneruskan bujukan mengesalkan seperti yang tadi.

Jeongyeon benar-benar pergi meninggalkan Seokjin, tidak peduli pria yang satu itu akan merajuk menggantikan dirinya atau bagaimanapun. Dia langsung kembali ke asrama menemui Boreum dan juga Soyung. Dua gadis itu tengah belajar bersama, tengah membahas tentang sejarah atau mungkin juga mitologi Yunani. Sedikit kalimatnya terdengar hampir mirip seperti cerita-cerita yang biasa Seokjin bawakan dahulu. Terdengar sedikit tidak masuk akal, tetapi sedikit tepat untuk mengisi jawaban kepala yang kosong.

Boreum dan Soyung langsung menoleh saat menyadari kedatangan Jeongyeon. Mereka langsung bertanya-tanya saat melihat gadis tersebut menghempaskan badan ke kasur dan melempar tas ke samping. "Aku bingung!" katanya sambil mendesah berat. Lalu Boreum pun menyusul duduk di sisi kasur seraya bertanya tentang alasan apa yang membuat teman sekamarnya ini tampak suntuk. Mendengar dua temannya itu setuju untuk mendengarkan pun, Jeongyeon langsung duduk berhadapan untuk bicara. "Menurut kalian Ryu Jimin itu bagaimana? Kakakku tidak suka padanya, kenapa sih?"

Boreum dan Soyung saling pandang satu sama lain. Entah apa yang menengahi dua gadis di hadapannya kini, yang jelas Jeongyeon sulit mengerti. Boreum dan Soyung saling pandang sama seperti biasanya, di saat-saat Jeongyeon meminta sebuah pendapat atau bercerita sesuatu. Kemudian Boreum bicara. "Jimin itu pernah satu SMP denganmu kan, Soyung? Sepertinya kau tahu lebih banyak." ucap Boreum membuat Soyung berpikir sebentar.

Epistolary: I'm Your Home✓Where stories live. Discover now