14. Perasaan aneh

91 28 60
                                    

Presensi Gu Jeongyeon lagi-lagi menjadi perhatian. Yoon Boreum serta Min Soyung duduk di sisi kasur sementara menonton salah satu teman sekamar mereka yang tengah mengemas ransel besar. Mulai besok libur hingga tujuh hari selanjutnya, begitulah sekiranya ringkasan dari pengumuman yang mereka dengar. Sekarang Jeongyeon sibuk mengemas ransel dengan barang-barang penting semacam laptop dan keperluan-keperluan kecil yang sebenarnya jika tidak dibawa pun tidak akan jadi masalah. "Kalian benar-benar tidak ingin pulang dan hanya akan tetap di sini?" tanya Jeongyeon pada Boreum dan Soyung setelah selesai dengan urusan ransel.

Boreum nampak mendengus sebal. "Untuk apa? Lagipula aku lebih nyaman di asrama daripada rumah sendiri." Mendengar respon yang diberikan oleh Boreum, Jeongyeon jadi malas untuk lanjut berbicara. Salah sedikit mungkin akan menusuk ke hati, terlebih lagi Boreum punya masalah dengan keluarga, yang tentunya tidak akan bagus jika dibagi pada orang lain. Maka Jeongyeon memilih untuk tidak menanggapi apa pun, kembali fokus pada barang-barang yang dipersiapkan. Pada situs semacam ini lebih baik diam daripada menyinggung siapapun.

"Kau sendiri bagaimana, Jeong? Pulang sendiri naik taksi atau dijemput?" Soyung yang kali ini bertanya. Namun, ada jeda agak lama sebelum Jeongyeon memberi jawaban. Agaknya gadis pemilik marga Gu itu tidak punya jawaban apa pun sekarang, makanya terdiam seperti tengah bingung. Untungnya Soyung bisa langsung mengerti. "Ah ... kau dan kakakmu masih bertengkar ya?" Kali ini Soyung terkekeh dengan canggung barangkali merasa tidak enak. "Kalau kakakmu tidak juga menghubungimu sampai sekarang, maka harusnya kau lah yang menghubunginya lebih dahulu. Terkadang orang dewasa ingin membiarkan kita menyadari kesalahan tanpa diberi penjelasan."

Sempat merenung, Jeongyeon pergi keluar dari asrama bersama ransel besar yang tadi dikemas. Langit sore telah menguning. Sekejap menatap layar ponsel, kemudian menghembuskan napas dengan kasar. Seokjin tidak membalas pesannya. Ditelpon tidak diangkat, dikirimi pesan juga tidak membalas. Jeongyeon sekarang memilih untuk duduk sebentar di taman kampus, siapa tau Seokjin akan membalas pesannya setelah ini.

Ternyata ekspektasi Gu Jeongyeon saja yang terlalu tinggi karena masih berharap sang kakak akan membalas pesan darinya. Ia menghela napas panjang, kemudian berjalan keluar dari gerbang kampus tepat pada saat senja datang. Sebagian mahasiswa lain juga memilih pulang, ada yang dengan kendaraan sendiri, ada pula yang dijemput atau naik angkutan umum. Hanya Jeongyeon saja yang masih setia berdiri di depan gerbang, menunggu Seokjin tanpa kepastian. Ia berdiri di sana sambil menatap orang-orang yang berlalu lalang di jalanan.

Lelah menunggu, Jeongyeon berjalan menuju halte yang tidak terlalu jauh dari kampus. Sebelum sampai di sana, lebih dahulu pandangan Jeongyeon tertuju pada sosok lelaki yang mengendarai motor sport dengan kecepatan tinggi membelah jalanan. Itu Jimin. Kembali menghela napas, Jeongyeon duduk dengan kaki menjuntai dan berayun-ayun tanpa semangat. Sekarang sudah senja, dan sialnya Jeongyeon sama sekali tidak mengetahui jadwal bus datang karena memang tidak pernah naik. Ia bertanya pada seorang penjaga toko tua di pinggiran jalan tentang kapan bus berikutnya tiba.

"Baru saja lewat. Mungkin bus berikutnya tiba dua jam lagi," ucap penjaga toko tersebut.

Jeongyeon berakhir menggerutu sambil mengacak-acak rambut. "Sialan! Awas kau Gu Seokjin!" Jeongyeon mendengus kesal, barangkali dalam otaknya sekarang telah terbentuk sebuah rencana untuk mengadukan bagaimana sikap kakak galaknya itu pada Eomma dan Appa supaya dia dimarahi dan diberi ceramah panjang seperti kereta api sampai telinganya memerah. Jika seperti ini bagaimana sekarang? Haruskah menelpon Eomma atau Appa? Tidak! Mereka pasti sedang lelah.

Sebelum Jeongyeon selesai berdebat dengan isi kepalanya sendiri, sudah lebih dahulu Jimin memberhentikan motor miliknya. Rupanya meski mencoba tidak peduli, pada akhirnya lelaki tersebut malah merasa kasihan juga hingga pada akhirnya putar balik menjemput. Jimin membuka helm full face yang dia pakai, menatap Jeongyeon dengan wajah datar. "Sampai kapan kau mau berdiri di situ?" tanyanya ketus.

Epistolary: I'm Your Home✓Där berättelser lever. Upptäck nu