7. Persetujuan

120 32 47
                                    

Dulu Mama pernah bilang "Jangan terlalu banyak berpikir untuk melakukan sesuatu yang kau suka, selagi itu bukanlah hal yang melanggar aturan maka lakukanlah."

Hujan baru saja berakhir. Sisa genangan air pun belum masih rindu dengan tanah sehingga masih setia menggenangi. Dari sana, jelas orang-orang tengah sibuk selayaknya keseharian para mahasiswa yang harus tidur di asrama. Sebelum mendaftar kuliah tiga tahun lalu, Jimin sempat berpikir apakah asrama lebih baik jika dibandingkan dengan rumah yang terasa panas setiap waktunya? Tentu saja asrama terlihat menyenangkan, kau harus bangun dengan alarm sebelum pukul enam pagi, dan kemudian harus mengantri hanya untuk mandi. Bukankah menyenangkan dikelilingi kesibukan semacam itu setiap harinya?

Hari terus berganti, bunga-bunga lily putih yang tumbuh berjejer di sepanjang pagar tanaman itu mulai lebat. Jimin teringat lagi, dulu dirinya lah yang menanam bunga itu, dengan tangannya sendiri. Bunga itu tumbuh dengan subur, kendatipun ia yang menanam tak sempat memberi air barang setetes saja. Hari yang berlalu, Jimin melupakan satu alasan mengapa sekarang ia harus tetap bertahan sampai saat ini.

"Sudah sampai, Nak."

Eksistensi sosok berseragam hitam itu rupanya hampir dilupakan Jimin, buktinya sekarang ia terperanjat kaget tatkala telapak tangan paman Kim menyentuh bahunya. "Ah? Aku akan turun." Sebelum turun dari mobil tangan Jimin lebih dahulu menyambar sebuah payung di atas dasboard. Namun, belum lagi Jimin melangkah pergi, suara rendah yang terdengar dari kursi penumpang menghentikannya.

"Milikmu."

Jimin langsung berbalik badan, sehingga terjadi kontak mata antara ia dan gadis dalam mobil yang duduk di kursi belakang. "Terima kasih, Seona." ucapnya sambil tersenyum hangat sebelum akhirnya kembali berbalik badan dan pergi. Paman Kim memutar setir menuju arah pulang ke rumah, meninggalkan si tuan muda yang sudah membuat janji untuk tidur di asrama beberapa hari.

Di sana, seperti biasa selalu ada banyak mahasiswa yang memenuhi taman dan koridor gedung kampus. Ah, jangan lupakan juga Han Taehyung dari tim baseball jurusan Sejarah, ia juga sedang berada di taman bersama teman-temannya.

Namun sialnya, Han Taehyung bersama Jo Sungwoon.

Teman Jimin bersama saingannya!

"Sungwoon!" panggil Jimin sampai si pemilik nama menoleh seketika. Yang dipanggil nampak mengerutkan alis, barangkali menyimpan rasa sedikit kesal dan juga penyesalan. Yang pasti berteman dengan siapa ia, itu tidak perlu batasan, namun Jo Sungwoon telah mengikat sebuah pita dengan janji bahwa tidak akan pernah ingkar pada ucapannya di tahun-tahun lalu.

Lelaki Jo itu berjalan mendekat, bermaksud ingin mengatakan alasan ia berkumpul dengan beberapa mahasiswa dari jurusan Sejarah. "Ada masalah. Ini tentang festival musim panas." Sungwoon berusaha menjelaskan namun Jimin nampak acuh barangkali karena ia berpikiran bahwa jikapun dirinya tidak ikut tidak akan menjadi masalah. Namun sebelum Jimin menganga untuk memberikan respon, Sungwoon lebih dahulu berkata lagi. "Kau wajib ikut, meskipun ayahmu adalah direktur kampus ini. Begitupun aku."

"Wajib? Tahun-tahun lalu kita tidak-"

"Ayahmu langsung yang mengumumkannya, baru saja. Sebelum kau tiba."

Jimin membuang muka, lebih memilih menatap bunga-bunga lily putih yang berjejer di sepanjang pagar. Kemudian eksistensi Han Taehyung juga mencuri perhatian Jimin, dalam hati ia terkekeh lirih. "Apakah putra sambung Prof. Dongchul itu juga diwajibkan?" tanyanya pada Sungwoon sambil terkekeh meremehkan. "Lucu sekali. Bukankah dia juga harus? Kau... putra Mrs. Jessie, bahkan diwajibkan." Sambil mengatakan kalimat terakhirnya itu Jimin lebih dahulu pergi, bahkan menyenggol bahu Sungwoon yang menghalangi jalannya.

Kotak ditangannya saat itu diremas dengan kuat. Entah apa yang menjadikan kotak itu nampak berharga, padahal berkali-kali Ryu si pemilik melemparkannya ke dalam tong sampah, berkali-kali pula ia meninggalkannya di tengah jalan berharap akan lupa dengan sendirinya. Benda di dalamnya adalah sumber kekuatan, namun juga kelemahan. Luka, benda itu tidak lebih dari sebuah luka yang tergambar dalam kata 'penghargaan'.

Epistolary: I'm Your Home✓Where stories live. Discover now