Bab 019: Pertarungan Yang Menentukan

8 1 12
                                    

Baik Cheryl maupun Elina hanya terperangah tanpa kata. Mereka sama sekali tidak menyangka bahwa Diky Ernawan, Utusan Kristal Suci pertama yang dikabarkan tewas, justru menjadi Ksatria Kegelapan yang menyebabkan kekacauan di Eoggavar.

"Kenapa? Kenapa kau malah bergabung dengan Sang Penguasa Kegelapan, Diky?" tanya Cheryl dengan nada lirih.

Diky hanya menyunggingkan bibir tanpa mempedulikan Cheryl yang masih terguncang. "Kau tidak perlu tahu, Cheryl. Apa yang aku lakukan bukan urusan kau."

Mendengar perkataan barusan, Cheryl mengepalkan kedua tangannya dengan erat. Tampak jelas ekspresi kekesalan tersirat di wajah gadis bersurai merah pendek itu. "Bukan urusanku, kau bilang?! Bukankah seharusnya kau bertarung melawan Sang Peguasa Kegelapan, hah?!"

Dimas sontak maju untuk mencegah gadis itu. "Sudahlah, Cheryl. Kita bicarakan dulu dengan baik-baik."

Diky melempar senyuman bernada sinis kepada Dimas. "Jadi ini Utusan Kristal Suci yang baru? Jika aku perhatikan, kau tidak ada apa-apanya."

Meski dalam hati dirundung amarah, Dimas berusaha agar emosinya tidak terpancing. Namun, ia terus memperhatikan wajah Diky dengan seksama. Tampak sosok bayangan anak kecil muncul di belakangnya, yang tidak lain adalah Diky sewaktu remaja.

"Apa kamu Diky, yang pindah ke Bandung setelah Ayah dan Ibumu meninggal?" tanya Dimas.

Cheryl dan Elina sekejap menoleh ke arah Dimas dengan ekspresi terkejut. Diky hanya mengangkat sebelah alisnya dan bertanya, "Hah, apa kau mengenal aku?"

Dimas hanya mengangguk pelan. "Tentu saja. Aku Dimas, yang sering bermain denganmu sewaktu kecil."

Entah datang dari mana, ingatan Diky semasa kecil melintas dalam benaknya. Dia dan Dimas sering menghabiskan waktunya dengan bermain bersama. Hingga akhirnya Diky harus pindah ke Bandung untuk tinggal dengan Paman dan Bibinya, setelah kedua orang tuanya meninggal dalam kecelakaan lalu lintas.

Diky memejamkan kedua mata dan tersenyum kecil. "Ah, sekarang aku ingat semuanya. Jika tidak salah, kau adalah anak enerjik yang selalu ceroboh itu, bukan?"

Dimas hanya menggaruk kepala dan tertawa canggung. Memang benar dia sering terluka karena jatuh dari sepeda dan juga saat bermain sepak bola. Tidak hanya itu saja, dirinya sering dimarahi oleh guru mengaji karena sering datang terlambat.

Dengan senyum kecil Dimas berkata, "Aku senang jika kamu masih ingat, Diky. Sudah lama sekali kita tidak jumpa."

Diky pun ikut tersenyum kecil sembari memejamkan mata. Namun, dia justru memakai kembali pelindung kepalanya. "Sayang sekali, sekarang bukan waktunya untuk nostalgia."

Dimas seketika terheran-heran dengan ucapan sahabat kecilnya itu. "Hah, apa maksudmu, Diky?"

Sebuah lubang hitam terbuka tepat di samping kanan Diky dan memasukkan tangannya ke dalam sana. Rupanya sebuah pedang dengan panjang bilah sekitar satu meter dan berwarna kuning merah bak api yang berkobar-kobar. Bentuknya sedikit berbeda dengan pedang kebanyakan yang cenderung lurus, melainkan cekung di bagian tengahnya.

Diky mengarahkan pedang ke arah Dimas, seakan menodongkan senjata tajam itu pada sahabat kecilnya. "Keluarkan pedangmu, Dimas."

Seketika mata Dimas terbelalak lebar. Dia sama sekali tidak percaya dengan apa yang dikatakan teman dekat masa kecilnya tersebut. "Hah? Tapi, ke-kenapa aku harus melakukan itu, Diky?"

"Jangan banyak tanya. Jika kau ingin membawa Beatrice kembali, hadapi aku dulu, Dimas!"

Dimas hanya bergeming. Tangannya seolah kaku untuk mencabut pedangnya. Hatinya merasa tidak tega jika harus melukai sahabatnya, terlebih setelah sekian tahun tidak bertemu.

Utusan Kristal SuciTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang