Bab 009: Awal Dari Ambisi Farus

38 11 9
                                    

Langit malam yang gelap akhirnya menyelimuti Bavilés. Di dalam salah satu ruangan penginapan, Dimas merebahkan tubuh di atas kasur dengan kedua tangan sebagai alas kepalanya. Dengan wajah murung pemuda itu menatap langit-langit. Dia tidak pernah menyangka di balik sosok Elina yang ceria dan terkadang terus menggoda terdapat cerita kelam di masa lalunya.

Dimas beranjak bangkit dari tempat tidur dan berjalan ke jendela di sudut lain. Ia menatap deretan rumah sekitar penginapan dalam naungan cahaya bulan yang menyinarinya. Lelaki itu hanya melamun karena ada hal lain yang mengganggu pikirannya.

Apa lagi kalau bukan ulah Ksatria Kegelapan dan goblin bawahannya.

Dimas membayangkan jika mereka menyerang Bavilés. Suasana ibukota Kekaisaran Henada yang tenang seketika berubah mencekam. Jerit dari wanita terdengar riuh dan para tentara bertarung melawan goblin, selayaknya dalam film laga. Yang paling menakutkan adalah mayat-mayat para penduduk, tentara dan monster yang tewas bergelimpangan di mana-mana.

Ditambah lagi dengan Ksatria Kegelapan yang dikabarkan memiliki kekuatan besar dan tidak dapat tertandingi oleh siapapun.

Terbesit sebuah keraguan dalam benak Dimas: Mungkinkah dia bisa melawan Ksatria Kegelapan jika bertarung satu lawan satu? Secara pria dari Bumi tersebut belum banyak pengalaman dalam bertarung.

Dimas terus merenung hingga tak sadar malam semakin larut. Pemuda itu akhirnya kembali merebahkan tubuh ke ranjang. Akan tetapi rasa kantuk belum menyerang kedua matanya. Ia hanya terus menatap langit-langit kamar, tanpa mampu mengalihkan pikirannya yang masih kacau.

***

Cahaya mentari pagi yang menerpa wajah Dimas membuatnya terbangun. Ia segera duduk dan menggeliat untuk meregangkan tubuh. Tidak dipungkiri semalam pemuda itu kurang tidur, hingga mulutnya menguap sangat lebar.

Dengan mata yang masih setengah terbuka Dimas beranjak dari tempat tidur lalu meninggalkan kamarnya. Meski sedikit sempoyongan karena masih mengantuk, dia turun meski harus memegang pegangan tangga. Dia terus berjalan menuju meja resepsionis.

Margaret, pemilik penginapan sekaligus kedai makan dan Serikat Petualang, tersenyum melihat Dimas. "Sepertinya kamu kurang tidur. Apa kamu bermimpi buruk semalam?"

Dimas sedikit terkejut dengan pertanyaan barusan. Dalam hatinya ia tidak ingin membuat wanita 30 tahun lebih itu mengetahui apa yang dipikirkannya semalam. Pemuda tersebut menggeleng dan menjawab, "Eh, ti-tidak ada apa-apa. Sa-saya hanya tidak bisa tidur dengan nyenyak saja."

"Apa kamu sedang banyak pikiran?" tanya Margaret kembali, seakan mengerti dengan keadaan pemuda bersurai hitam pendek itu.

Dimas kembali dibuat terkejut. Ia menggeleng beberapa kali dengan wajah yang merah padam. "Eh, umm. Ti-tidak. Tidak sama sekali."

Margaret hanya tersenyum lembut dan menunjuk pintu di ujung kedai, tepat di seberang meja resepsionis. "Aku rasa air yang sejuk bisa membuat perasaanmu membaik. Mandi sana, lalu sarapan."

Dimas hanya menggaruk kepala karena merasa canggung. "Eh, umm, baiklah. Terima kasih banyak, Nyonya Margaret."

"Sudahlah, tidak perlu formal begitu. Panggil saja Margaret," ucap wanita itu lalu kembali tersenyum.

***

Satu jam berlalu begitu saja. Dimas terlihat sedang berkeliling di sekitar Bavilés. Deretan rumah yang terbuat dari kayu dan batu menghias di kanan dan kirinya. Begitu pula dengan warga yang berlalu-lalang memadati jalan. Setidaknya suasana ibukota Kekaisaran Henada tidak seperti apa yang dipikirkan oleh pemuda itu semalam, membuatnya bisa bernapas dengan lega.

Utusan Kristal SuciWhere stories live. Discover now