001 Alasan Menikah

2.8K 184 24
                                    

"Selamat untuk kelulusanmu."

Neima tersenyum. Malam ini Dika mengajak makan di restoran hotel. Tentunya, mereka akan merayakan keberhasilan sidang skripsi Neima tadi pagi dalam sebuah kamar yang mewah. Pasangan itu juga mengenakan pakaian cukup bagus saat datang ke hotel.

Acara makan malam berlangsung singkat. Keduanya tidak sabar ingin menyatukan diri setelah seminggu lamanya tidak melakukannya. Sepekan belakangan Neima sangat sibuk dan menolak untuk bertemu Dika. Pasalnya, jika mereka bertemu, Neima takkan bisa menyelesaikan seluruh tugas yang telah deadline.

"Kalau aku tidak hamil, berarti salah satu dari kita mandul."

"Kenapa bisa? Memangnya kau mau hamil? Kau tak ingin bekerja?"

Neima memperhatikan langit-langit kamar yang luas. Ia menjawab sekenanya. "Kau mengeluarkan banyak di dalamku. Masa satu pun tidak jadi? Seharusnya tadi kau pakai k*ndom. Aku takut nanti di perutku ada bayi. Kita melakukannya beribu kali."

"Haha ... mana kuingat lagi, Nei. Kalau kau hamil, kita menikah. Aku tidak mau kau dinikahi orang lain."

Neima menatap Dika. "Apa benar?"

"Ck! Memangnya kau hamil?"

Neima mengangkat bahu. "Itu kalau."

"Kapan tanggal wisudanya, Nei?" tanya Dika. Dia menutupi tubuh Neima dengan selimut.

"Satu bulan lagi. Dan sebelum itu akan banyak urusan dengan pihak kampus. Andai kau bisa membantu mewakilkan salah satunya."

Dika mengambil jubah handuk dan meminta Neima memakainya. Dia pun mengambil celana dalam baru dari tas Neima dan memakaikan di kaki kekasihnya. Serinci itu Dika mengetahui seluk-beluk kebiasaan Neima. Cewek yang dia pacari setahun lalu itu selalu membawa celana cadangan dalam tasnya. Dika juga sudah terbiasa dengan gaya tidur Neima. Neima takkan bangun sebelum pukul enam. Alarm bawah sadar Neima hanya berdentang pada waktu itu dan sebelum pukul enam, Neima bagaikan mayat hidup. 

Setelah perayaan kelulusan itu, Neima betul-betul sibuk menyiapkan wisudanya. Saat orang tuanya tiba dari kampung, Neima sangat bersyukur karena ada yang menjaganya. Ya, Neima drop sehari sebelum wisuda. Tubuhnya panas tinggi. Pagi di hari H, dia muntah-muntah. Neima sama sekali tidak berpikir muntahnya karena demam. Neima sudah curiga dalam perutnya telah tumbuh seorang bayi. Alih-alih takut, Neima tidak sabar membeli alat pengecek kehamilan dan memberitahu Dika. Mereka akan menikah dan hidup bersama.

"Minum obat dulu, Nei, supaya demammu berkurang."

Neima mengangguk dan menerima pil dari Meida, ibunya. Dia hanya pura-pura menelan. Saat ibunya lengah, Neima mengeluarkan pil tersebut.

Kebaya hijau muda dan kain batik hitam melekat di tubuh sintal Neima. Hijabnya diikatkan ke leher sehingga manik yang banyak di bagian dada kelihatan. Neima memberikan riasan tipis pada wajah. Lagi-lagi karena Dika, Neima tidak boleh tampil menonjol. Dika ketakutan orang lain menyadari kecantikan Neima dan jatuh hati kepada kekasihnya. Sekitar pukul tujuh, Dika sudah tiba di depan kosan Neima membawa mobil orang tuanya. Orang tua Neima dia sapa dengan sopan.

Pergelaran acara wisuda berlangsung sampai pukul sebelas. Dika mengajak orang tua Neima makan siang di sebuah restoran. Neima memberikan kode kepada Dika untuk ke toilet. Tentu saja Dika merasa sangat senang karena kebaikan hati Neima.

"Sebentar, Bu, ada yang ingin Nei sampaikan kepada Dika."

"Kami tinggal sebentar," pamit Dika kepada Meida dan suaminya.

"Sepertinya aku hamil."

Dika terkejut. Halaman belakang restoran tersebut sepi. Hanya ada angin yang mendengarkan pembicaraan mereka. Kekagetan Dika membuat dia mengucapkan 'apa' dengan lantang.

"Sudah kau periksa?"

"Belum."

"Dari mana kau tahu kalau belum dicek?"

"Firasat. Haidku terlambat. Cepat kau hubungi orang tuamu. Aku tidak mau anak ini ada sebelum kita menikah."

"Belum pasti, Nei. Coba cek dulu."

"Besok pagi aku cek dan aku pastikan hasilnya positif. Kau harus menikahi aku!"

"Iya! Aku sudah berjanji."

***

Ternyata memang positif. Neima tidak bisa menunda untuk memberitahu Dika. Dirinya telah bersiap untuk pulang kampung bersama orang tua. Mobil pick up telah berisi barang-barang Neima untuk dibawa pulang. Neima memutuskan untuk tetap tinggal dan meminta orang tuanya pulang lebih dulu.

Neima segera mencari Dika di rumah cowok itu. Rumah yang dikontrak Dika lumayan besar dan Dika tinggal sendirian. Lima menit menunggu, barulah Dika datang dengan sepeda motor. Mobil orang tuanya yang dipinjam Dika masih terparkir di teras rumah.

"Positif, Dika."

Neima memberikan testpack kepada Dika.

"Aduh, Nei. Aku masih kuliah." Dika terduduk dengan muka kuyu. Pasalnya, dia tidak siap dengan kabar tersebut.

"Itu kenapa aku selalu mengingatkan! Sejak awal, perjanjiannya kau wajib menggunakan pengaman."

"Hei! Kalau kau takut hamil, kenapa tidak minum pil?"

"Apa? Pil? Intinya sekarang kau menyalahkan aku?" bentak Neima. Benda penunjuk kehamilan tersebut dia lemparkan ke muka Dika.

"Sabar, Nei. Sekarang aku pusing dan kau jangan menambahi beban pikiranku! Nggak usah membentak!"

"Kau yang apa-apaan! Kita harus menikah. Aku tidak mau semua orang tahu aku hamil sebelum menikah. Enak sekali kau ingin lepas tangan setelah kuberikan semuanya untukmu!"

"Bukan seperti itu. Tenang dulu. Bicara pelan-pelan. Duduk, Nei." Dika menuntun Neima ke bangku.

"Jadi, apa rencanamu? Menikah? Ya, ayo! Kenapa tidak? Aku mencintaimu, Nei. Jelas aku akan bertanggung untuk kau dan bayi kita."

"Kau mau menikahi aku?"

Dika memeluk Neima dan membenamkan wajah Neima ke dadanya. "Iya, Neima, kita menikah. Hari ini kita ke orang tuaku. Dan setelah itu, kita bersama-sama ke rumahmu."

"Kita mengaku kalau aku hamil?"

Dika mengangguk. "Papa mamaku tidak akan membolehkan aku menikah muda kecuali dengan alasan sudah ada cucunya padamu. Orang tuamu tentu akan seperti itu, Nei. Kau seharusnya tidak menikah secepat ini. Mereka pasti ingin kau bekerja dulu. Justru dengan alasan kehamilan, kita akan dinikahkan secepatnya."

Penjelasan Dika menyimpulkan bahwa dia sebenarnya ingin menikahi Neima. Perasaan Neima semakin melambung. Tidak salah Neima memilih Dika sebagai pelabuhan dan tempat bongkar pasang kapalnya. Dika seorang lelaki yang bertanggung jawab. Pria itu juga mencintai Neima.

Malam itu juga Dika membawa Neima bertemu kedua orang tuanya yang tinggal di daerah Jati. Cukup jauh dengan kampus dan kosan mereka. Reaksi orang tua Dika sudah tertebak. Ayahnya marah besar. Dika ditinju sekali dan langsung diselamatkan ibunya sambil menangis. Orang tua Dika sama sekali tidak menegur Neima bahkan melihat pun tidak mau.

Jelas begitu karena orang tua mana yang senang mendapatkan cucu dengan cara salah? Apalagi status sosial mereka berbeda. Jika tidak hamil, sepertinya Neima tidak akan bisa bersanding dengan Dika. Apalagi jika Dika tidak ingin bertanggung jawab. Orang tua Dika pasti akan mendukung putranya. Sampai di sana, Neima makin takhluk kepada sikap Dika dan rasa cinta Dika yang selalu menaungi Neima.

***

bersambung 

5 November 2022

Versi aman, ya. Di Innovel sudah jauh, boleh ke sana atau di sini juga gak papa, Kasev akan post semua di sini. Dan semoga bisa tamat di sini.

NEIMA Berdua Paling BaikМесто, где живут истории. Откройте их для себя