27. Philophobia

52.1K 3.9K 410
                                    

"Fear of falling in love, can negatively affect your ability to have meaningful relationships."

-Philophobia
______________________

Malam itu, hujan yang sangat deras mengguyur kota Denpasar yang sejak tadi pagi diliputi oleh awan mendung. Suara gemercik air yang bergesekan dengan atap rumah, membuat suara bising itu tidak dapat terhindarkan. Lilly yang sejak tadi berdiri di depan jendal pun hanya bisa termenung, menikmati hawa dingin hujan yang begitu khas.

Entah kenapa, di saat hujan turun begini, isi kepalanya pasti akan berkelana ke masa lalu—mengingat-ingat kembali luka lama yang sempat terlihat indah di matanya. Kilas balik saat ia memohon  kepada Madelyn untuk dibiarkan pergi dari hidup Theo, kini muncul ke permukaan.

Lilly ingat betul saat itu, sehari setelah ia dirawat di rumah sakit pasca keguguran, dia—dengan segala rasa sakit dan air matanya berlutut di hadapan Madelyn, memohon dengan sangat kepada wanita itu untuk membiarkannya memulai hidup baru jauh dari Theo. Madelyn yang mengerti perasaan Lilly pun tanpa diduga langsung membantunya secara sukarela. Wanita paruh baya yang Lilly kira akan memandangnya sebelah mata itu, ternyata adalah seorang yang membantunya melarikan diri dari Los Angeles.

Tapi jika kalian bertanya apakah Lilly masih berkomunikasi dengan Madelyn atau tidak, maka jawabannya adalah tidak. Lilly memutus komunikasi dengan orang-orang yang berkaitan dengan Theo, termasuk Alice dan Gabriel yang entah bagaimana kabarnya.

Ya, tak peduli seberapa keras ia berusaha melupakan semua kilasan kelam itu, bayang-bayang akan netra abu yang sering menatapnya dengan berbagai emosi pasti akan terbesit di dalam ingatan, menguak kembali luka lama yang terkubur di dalam hati.

Waktu yang berlalu setiap harinya pun juga tak mampu menghapus ingatan Lilly akan seorang Theodore Alford yang luar biasa bajingan.  Kemarahan yang terpendam, kebencian yang tumbuh dan rasa ingin melampiaskan semuanya, kian hari kian membebani hati Lilly. Meski sudah empat tahun tidak bertemu, namun api kebencian Lilly tidak pernah padam.

Lilly tidak akan pernah melupakan tatapan kemarahan dari netra abu Theodore hari itu. Dia juga tidak akan pernah melupakan saat tangan besar Theodore mendorong kencang tubuhnya tanpa belas kasih hingga terjatuh.

Rasa sakit yang ia alami saat itu,  hingga kini masih dapat dirasakan. 

"Dia sudah tertidur ya?" Suara Louis yang tiba-tiba menginterupsi ruangan, seketika membuat lamunan Lilly terpecah. Lilly lalu menoleh,  menatap ke arah Louis yang baru saja keluar dari dalam kamar. Tak lama Lilly tersenyum dan mengangguk.

"Hmm. Dia langsung tertidur setelah makan malam," jawab Lilly yang kemudian kembali memfokuskan pandangannya ke arah jendela. Mendengar hal itu, Louis lantas mendekati Lilly, berdiri di samping wanita itu dan menatapnya lekat-lekat.

Dari tempatnya berdiri, Louis bisa menangkap raut ketegangan di antara garis wajah kekasihnya. Netra cokelat itu juga terlihat memerah dengan bibir yang terkatup rapat, seolah tengah menahan sesuatu.

"Apa yang kamu pikirkan?" Louis akhirnya memecah keheningan, menyuarakan rasa penasarannya secara langsung. Lilly menggeleng.

"Tidak ada," jawab Lilly. Namun Louis tak lantas percaya begitu saja. Dia telah mengenal Lilly sejak saat wanita itu menginjakkan kakinya di Indonesia untuk yang pertama kali. Dan sejak saat itu, Louis dapat mengingat semua kebiasaan Lilly, termasuk saat dirinya menikmati hujan dalam diam sembari mengenang luka lama yang belum pulih seutuhnya, seperti saat ini.

"Kamu masih memikirkannya?" tanya Louis hingga membut Lilly menoleh, menatap wajahnya dalam diam.

"Memikirkan tentang semua yang kamu alami sebelum kamu datang ke sini," Louis melanjutkan kalimatnya dengan tatapan teduh yang menenangkan.

The Escapes of MistressWhere stories live. Discover now