34. Dersik Lara

1.3K 220 2
                                    

-:*:- e d e l w e i s -:*:-

-:*:- e d e l w e i s -:*:-

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

-:*:-

27 Februari 1942

Kirana duduk menyempil diantara Meneer Eduardo dan Mevrouw Amanda, mereka duduk di meja makan dengan keheningan. Suara berupa gerakan Mbok Sri tengah menata meja, mengisinya dengan menu makan siang. Setelah usai, Mbok Sri mengucap undur diri dengan santunnya.

Perlahan Kirana meraih sendok beserta garpu. Amanda mengisi piring kosong suaminya dan piring milik Kirana, lalu baru miliknya sendiri. Perempuan yang tampak masih belia itu tersenyum mengutarakan tanda terima kasih tanpa suara.

Alat makan beradu menghasilkan bunyi. Eduardo dengan datarnya melahap makan siang tanpa ragu. Sementara sang istri makan dengan anggun selayaknya noni Belanda pada umumnya. Sedari kecil, Amanda sudah diajarkan tata krama orang Eropa, meski darah Nusantara ikut juga ada pada dirinya.

Seperti hari-hari kebelakang, Batavia terlampau panas saat matahari tepat menancap di puncak cakrawala. Membuat para Londo sering kali banjir peluh serta merta membuat mereka berakhir mengutuk dan mengeluh. Atmosfer sama panasnya dengan perang di Laut Jawa sana. Jepang dengan ambisinya, dan Sekutu dengan harapannya.

Eduardo membersihkan mulutnya dengan sapu tangan setelah piringnya kembali kosong. "Hindia sudah tidak lagi kondusif," ujarnya meneliti wajah jelita Amanda.

Bergerak menyimpan sendok dengan amat perlahan hingga bunyinya samar, Kirana sendikit menundukan kepala. Bagi Londo. Sejak kalian bertandang kemari, semuanya pun sudah tak lagi tentram.

Amanda terangkat menatap balik suaminya usai menyelesaikan makannya. "Apa yang tidak kondusif?"

Pria paruh baya itu mengapit rokok di kedua belahan bibir dan membakarnya. Mengisap lalu menghembuskan asapnya ke samping.

"Menurutmu? Langkah Jepang sudah terlalu jauh untuk masuk ke Hindia. Beberapa tetangga kita sudah melarikan diri. Mereka tahu, Jepang adalah bencana." Eduardo memundurkan kursinya. Mengangkat satu kaki kiri bertumpu pada paha kanan, ia tergerak meraih koran terlipat di samping piring. Membukanya dengan santai tanpa melirik Amanda yang lagi sejenak terdiam.

"Kau mau kita juga melarikan diri?" timpal Amanda. Namun, Eduardo tidak menjawab, membuat sang istri berspekulasi jika suaminya mengatakan 'ya'.

"Tarakan ... Balikpapan ... Pontianak ... Samarinda ... Banjarmasin ... Kalimantan ... Maluku ... Sumatera ... Palembang." Kelereng mata pria Belanda totok itu beranjak melirik Amanda. "Orang-orang Eropa di tanah itu dibantai dan dijadikan tawanan."

"Kau tahu, istriku? Tepat hari ini, mereka tengah berperang. Merangkak dan mempertahankan Pulau Jawa. Aku tidak tahu siapa yang akan menang, Sekutu atau Jepang. Kita hanya punya waktu sebentar untuk berkemas."

Lidah Amanda tetiba kelu. Ia menelan saliva. "Tapi--"

"Kau mau membuat suamimu mati konyol di sini?" Eduardo menarik satu alisnya menuntut.

EdelweisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang