6. Surya Bara Neraka

1.6K 246 4
                                    

-:*:- e d e l w e i s -:*:-

-:*:- e d e l w e i s -:*:-

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

-:*:-


1 Desember 1938

Sudah saatnya malam bertahta ketika baru di tinggal pergi jingga, menjadikan latar romansa sang pangeran bulan dan putri bintang di tengah ribuan gemintang lainnya yang tak kalah bersinar. Kirana datang dan pulang, mendorong pintu kayu reot rumahnya yang temaram. Bersama air muka lelah tak berkesudahan. Masuk ke dalam seiring pintu tertutup semula.

Lunglainya menguap, memandang Mamahnya terbaring tak berdaya pada ranjang tak empuk di bawah balutan selimut yang ia yakini tak cukup menghangatkan.

Sudah hampir dua purnama Sartika di terjang penyakit yang Kirana sendiri tidak tahu penyakit macam apa itu. Selama itu pula pundaknya menanggung seluruh beban yang Mamahnya emban; bekerja lebih keras dua kali lipat, mengurus rumah, dan termasuk mengurus Mamahnya tanpa berat hati.

Helaan napas Kirana mendera. Derita pribumi yang nyatanya harus kuat fisik dan mental untuk menghadapi si londo tak tahu diri dan segala kebijakannya. Kebijakan mereka yang seakan mencekik pribumi hingga mati dalam neraka kesengsaraan. Benih kebencian yang tertanam baru tunasnya saja kian tersiram dan terberi pupuk di nurani satu insan atas nama Kirana Sartikaputri.

Kaki gadis itu menderap pelan tak ingin mengusik kenyamanan satu orang. Mendekat padanya dan bersimpuh di bibir kasur kapuk yang menjadi baringan punggung rapuh.

Dalam cahaya lentera, kelopak mata terlelap itu terusik grusak-grusuk samar. Ketika matanya menatap perawakan Kirana tengah bersimpuh, senyum tipisnya terbit mengalahkan hangatnya mentari pagi tadi.

"Eneng sudah makan?" tanya suara lemah itu.

Sang empu tersenyum dan mengangguk pelan tanpa menghiraukan yang terucap hanya dusta.

Dia mengeluarkan beberapa keping gulden¹ yang di dapatnya sebagai upah setelah bekerja dari pagi hingga petang menjelang malam. Benda langka yang tak mudah di raih tanpa kerja keras itu Kirana berikan semuanya pada Sartika.

"Terimakasih, ya, Neng."

Gelengan cepat menukas tanda tak menerima. "Mamah tidak perlu berterimakasih sama Eneng. Justru Eneng yang harus berterimakasih, karena punya Mamah."

Senyum tulus Sartika kian memancar, telapak tangan ringkihnya beranjak mengusap pelan pipi gadis itu yang terbalut bukan warna kulit asli.

"Sana bersih-bersih. Sudah itu, Eneng tidur. Pasti lelah," perintahnya lembut.

Tidak. Tidak ada lelah dalam kamus Kirana jika menyangkut Mamah.

Kirana mengangguk dan beranjak setelah mengecup sekilas punggung tangan Sartika. Ia pergi ke belakang rumah. Masuk ke kawasan sekatan bilik yang tertampung air di ember-ember kayu. Berjongkok tanpa ragu di tengah setitik kegelapan. Membasuh kulit, melunturkan warna kunyit yang sampai hari ini masih melekat pada pori-pori.

EdelweisWhere stories live. Discover now