26. Ribuan Tahun Cahaya

1.4K 219 2
                                    

-:*:- e d e l w e i s -:*:-

-:*:- e d e l w e i s -:*:-

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

-:*:-


30 Maret 1940

Tidak ada lagi rasa takut yang mengeryangi Kirana tatkala lama-lama sudah terbiasa tidur di kamar suram kediaman Edwin. Suara gagak melewati atap rumah pun sudah tak membuatnya gentar.

Malam ini perasaannya kacau balau tak tentu arah. Ia masih membungkus kecewa dalam dada pada dirinya sendiri. Jika tahu sedari awal Tuannya mabuk, seharusnya Kirana bisa melawan. Setidaknya ia bisa menggunakan pisau makan untuk melonggarkan kukungan Tuannya.

Bodoh. Berandai-andai membayangkan hal tersebut memang mudah, tapi pada kenyataan tak semudah itu. Kirana sudah menggigit dan menendang Edwin sangat keras, namun sia-sia akhirnya. Ia tak menolak lupa jika fisik Edwin memang sudah terlatih sebab jadi perwira dengan pangkat tak bisa di remehkan.

Sekarang rasa benci Kirana pada orang-orang yang menyalahkan perempuan atas tindak pemerkosaan dari lawan jenisnya kian meradang.

Pada malam yang gelap namun berbintang kelap dan kelip, pintu kamar Kirana berderit. Memberi jalan untuk seberkas cahaya dari luar merambat ke dalam ruangan yang gelap. Seseorang berderap dan duduk di samping Kirana yang tampak menutup kelopak matanya sembari berbaring menghadap langit-langit kamar.

Usapan selembut benang sutra terasa nyata, penuh kasih tak terkira. Kelembutan yang membuat dirinya hampir terlena dan mengepak sayap pada alam mimpi.

"Aku minta maaf." Deru napas terdengar samar. Sekuat tenaga, Kirana berusaha menenangkan detak jantung dan respon tubuhnya. Hingga sepersekian detik, kecupan singkat dari bibir tanpa kehangatan jatuh di keningnya.

"Semoga mimpi indah, Kirana." Dan semua itu tamat sampai derapan dan deritan kembali terdengar dan membiar sunyi.

Selinang air mata jatuh menyelip seiring dengan kelopaknya yang membuka, menampilkan pupil tak bermakna. Kirana menarik napas berat dan membuangnya kasar, pun sambil mengusap pipinya yang dialiri sungai kecil. Tersenyum getir, perempuan itu menggumam lirih, aku belum bermimpi.

-'- -'- -'- -'- -'-

Embun masih tampak memeluk daun terlebih di saat dinginnya fajar menusuk. Sang mentari hanya terlihat seberkas cahayanya di balik punggung awan tebal.
Sepasang insani lagi saling pandang berdiri di hamparan keramik halaman kediaman. Edwin sudah rapi lengkap dengan pakaian militer beserta tas ranselnya. Memandang Kirana layu. Mengusap lembut pipi perempuan itu yang sedang menunduk pandang.

"Kamu tidak akan pergi, 'kan?"

Kirana menipiskan bibir. "Ya, saya tidak akan pergi sebelum Meneer yang lebih dulu pergi."

"Kamu benar-benar menyukai si jongos Jawa itu?" tanyanya lagi, namun kali ini tersirat akan ketidaksukaan mendalam.

Todongan itu seketika membuat Kirana termagu berpikir. Kemudian ia menggeleng pelan keragu-raguan. Hal tersebut makin memancing rasa sebal dari diri Edwin entah mengapa. Lantas ia membatin: kalau saja aku bisa membawanya ikut bersamaku ke manapun.

Sorot mata Kirana tertuju pada topi baret di genggaman kedua tangannya. Lantas ia mengangkat tangan dan memasangkan baret itu pada pemilik aslinya sambil sedikit berjinjit. Sang Tuan yang sedari tadi memperhatikan raut sedingin embun Kirana tersenyum amat tipis. Ia menunduk sembari memajukan wajah, mengecup penuh rasa beberapa detik di pipi kiri perempuan itu.

"Aku akan pulang secepatnya, Kirana. Ik hou van jou," (Aku cinta kamu) lirihnya sebelum menjauh dari Kirana yang lagi terpaku dengan jantung berpacu. Aliran darah kedua insan itu kembali berdesir.

Melihat Kirana yang tidak berekspresi kehilangan membuat Edwin urung dan berderap pergi. Pada batinnya ia berharap waktu cepat berputar hingga dirinya mendapat kesetiaan wanitanya.

Langkahnya dengan tempat di mana mobil telah siap untuk mengantarkan ia ke dermaga pencipta ribuan jarak. Sesampainya, Edwin menarik pintu mobil dan menoleh ke belakang. Kirana masih berdiri tanpa ekspresi, tak lama perempuan itu berbalik dan masuk ke dalam rumah. Rasa takut Edwin kembali muncul ke permukaan setelah sekian lama tahun berganti.

Suara mesin mobil terdengar menjauh, Kirana menutup tirai putih transparan setelah sedari tadi diam-diam mengintip. Pelupuk matanya kembali menumpahkan setitik air setelah sakit membendungnya. Hati Kirana di buat porak-poranda mengingat kata cinta keluar dari mulut dingin Edwin.

-'- -'- -'- -'- -'-

Oentoek lenterakoe, penerang bagi hatikoe.

Akoe hanja seonggok manoesia jang orang lain bilang berdarah dingin. Akoe manoesia naif, moenafik, djoega toekang pendoesta. Akoe jang pernah mengatakan tidak pernah maoe bersanding denganmoe di bawah tanah. Sombong sekali akoe.

Namoen matjamnja, Tuhan lagi memberikoe seberkas karma. Dengan datangnja rasa djoega tjinta teroetoek inlander setengah Eropa jang selaloe di pandang sampah. Doenia ini kedjam, memboeat hatikoe terbalik djadi tak maoe berandjak dari Hindia sebab kamoe.

Akoe tidak maoe berbitjara moenafik lagi, bahwa akoe pertama kali mentjintaimoe sebab parasmoe jang tjantik bagai bintang paling terang di angkasa.

Kamoe bagikoe adalah gemintang, jang djaoeh berdjarak djoetaan tahoen cahaja dari tempat manoesia sepertikoe berpidjak di tanah boemi. Njatanja bersanding denganmoe boekan di liang tanah jang berlava menjiksa, tapi djaoeh di loear angkasa penuh cahaja di tengah goelita.

Meski djarak kita sampai riboean tahoen tjahaja sekalipoen, akoe hanja berharap djika Toehan soedi oentoek mengikisnja.

Ik hou van jou, Kirana Sartikaputri. Zie je weer.

Kirana meletakan surat yang baru saja ia buka di sampingnya tempat ia terduduk di bibir ranjang. Dua hari setelah Edwin pergi, Mevrouw Amanda beserta suaminya pindah kembali kemari dan menyerahkan secarik kertas penuh tinta. Matanya yang sedari tadi memanas memandang kesegala arah untuk membendung apapun yang akan meluruh.

Menarik napas, perempuan itu mengusap cepat pipinya yang di jatuhi rintik air. Tersenyum getir, apa maksud Edwin yang sebenarnya menulis surat ini? Apa yang mau? Membuat dirinya cinta mati sampai rela menentang binasa? Lalu lenyap dalam jeratan perut bumi dengan derita cinta tak terbalaskan. Kirana amat yakin, tidak mungkin londo begitu mudah cinta pada piaraannya. Omong kosong.

Ia hanya tidak mau seperti bangsanya yang sudah terlanjur terperosok ke dalam belenggu licik dari mulut manis Belanda--Eropa.

EdelweisWhere stories live. Discover now