5. Pribumi dan Bilur Deritanya

1.9K 259 1
                                    

-:*:- e d e l w e i s -:*:-

-:*:- e d e l w e i s -:*:-

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

-:*:-


21 Oktober 1935

Harmoni tawa terdengar selaras dengan deburan arus air aliran sungai tenang. Sang mentari hangat mendekap tubuh-tubuh insan yang bagai partikel kecil dalam alam jagat raya. Burung gereja terbang bersiul di atas penderitaan Nusantara yang masih berada di bawah tekanan kolonial imperalisme si Merah Putih Biru.

Kirana duduk di tepian dengan senyumnya yang merkah. Memandang mereka--tiga pemuda dengan netra binar manisnya. Sesekali lensanya melirik bakul berisi pakaian milik teman perempuannya yang tengah menggosok kain hingga berbusa di atas bebatuan basah.

"Dian. Lami keneh, teu? Kuring hayang buru-buru diajar. Meh pinter, jeung ngalahkeun si bengeut bodas." (Masih lama, tidak? Aku ingin cepat-cepat belajar. Supaya pintar, untuk mengalahkan si wajah putih)

Ahmad yang mendapati mereka termasuk Kirana tertawa geli lantas kembali berucap, "Eh? Aslina, kuring keuheul ka si gede hulu." (Eh? Beneran, aku kesal sama si besar kepala)

"Moal bisa atuh, Mad. Si eta mah beunghar teuing, rek naon ge kabeuli. Lah, maneh? Dahar ge hese!" (Tidak akan bisa, Mad. Dia terlalu kaya, mau apa saja juga bisa di beli. Terus, kamu? Makan saja susah) lontar Bayu tanpa berpikir dua kali.

Ahmad melirik sinis pada Asep terikut asik mentertawakan atas penderitaanya bersama Bayu. "Cicing, maneh!" (Diam, kamu!) gertaknya ancang-ancang akan melemparkan kerikil pada mereka. "Lainna di dukung, kalah kah di seungseri keun." (Bukannya di dukung, malah di tertawakan)

"Geus atuh, gelut wae da perasaan maraneh. Abdi sakedeung deui ge beres, yeuh." (Sudah, berantem terus perasaan kalian ini. Aku sebentar lagi juga selesai, nih) Dian mempercepat pekerjaannya sebelum perkelahian adu mulut mereka berubah menjadi tanding fisik.

"Enya ih, kos budak leutik wae," (iya ih, seperti anak kecil saja) cibir Kirana sembari menyamankan duduknya di atas kerikil tanpa alas.

"Da emang kuring leutik keneh. Emang maraneh, geus bangkotan bau taneuh." ('Kan aku memang masih kecil. Memangnya kalian, sudah tua bau tanah) ucap Ahmad balas mengejek, tanganya dengan sengaja menercikkan air ke wajah Dian dan Kirana.

"Aduh, ieu jalmi menta di siksa, nya?" (Aduh, ini manusia minta di siksa, ya?) tanya Dian lembut, matanya menyorot tajam, juga senyum paksa terpatri bibirnya. Sementara Kirana spontan melempar kerikil sedang hingga membuat Ahmad meringis lantaran mengenai kepalanya dengan sempurna.

Dia menyengir kecil tanpa menghiraukan Asep dan Bayu yang kian tertawa puas atas penderitaannya. "Ampun Mevrouw." (Nyonya)

Dian tak mengindahkannya, ia bangkit setelah selesai bersama bakul di pangkuannya. Kirana ikut beranjak sembari menepuk-nepuk pakaiannya; barangkali ada tanah basah atau kering menempel pada kain jarik atau kebayanya.

EdelweisWhere stories live. Discover now