33. Darah dan Daging

1.4K 219 2
                                    

-:*:- e d e l w e i s -:*:-

-:*:- e d e l w e i s -:*:-

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

-:*:-


Perang di Pasifik sana kian berkecamuk dari akhir tahun 1941. Kapal-kapal perusak yang mengambang di samudra terus melemparkan tornado beserta torpedo. Perang Dunia di Pasifik disebabkan oleh serbuan Jepang tanpa peringatan terhadap pangkalan Armada Angkatan Laut Amerika di Pearl Harbour, Hawaii, pada tanggal 7 Desember.

Tujuan utama Jepang mengobarkan Perang Pasifik adalah untuk berkuasa atas negara-negara di Asia, menggantikan kedudukan bangsa Eropa. Dengan menguasai Asia, maka Jepang mendapat cadangan logistik dan menguasai daerah penghasil bahan mentah bagi industri perang, termasuk minyak bumi.

Mengetahui jika Amerika melancarkan embargo minyak bumi yang sangat dibutuhkan untuk industri di Jepang maupun keperluan perang, Jepang melakukan invasi penuh ambisi terhadap Asia Timur Raya. Termasuk melakukan penyerangan ke Hindia Belanda, negeri dengan sumber minyak buminya yang kaya di dikuasa oleh si biadab dari Eropa.

Terkadang Kirana hanya mendesis miris, begitu mendengar suara rakyat tanah sebangsanya berbondong-bondong yakin jika Jepang adalah penyelamat mereka, yang sudah tertulis dalam ramalan sang pendahulu. Katanya, mereka yakin jika Jepang adalah kunci mereka untuk keluar dari belenggu siksa Belanda. Karena kita, Jepang dan Nusantara, merupakan saudara tua se-Asia.

Betapa polos bangsanya. Sebegitu yakinnya mereka percaya pada bangsa asing. Tidakkah mereka berpikir jika Jepang itu tirani yang masih satu komplotan dengan sekutunya, Jerman dan Italia, yang dikenal penjahat perang.

Sebelum memikirkan hal itu, Kirana terlebih dahulu dibuat heran saat Belanda dicekik Jerman. Mengetahui hal itu, rakyat Hindia dengan empati bersedekah pada Belanda, bangsa yang telah menjajah mereka bertahun-tahun.

Kirana duduk di atas rerumputan belakang rumah. Perutnya semakin membesar dengan balutan dress panjang berwarna putih. Senyum tipis nan cantiknya terpancar pada Caitlin, tetangganya, yang akhir-akhir ini selalu mengajak Kirana bermain boneka di halaman belakang rumah.

Noni kecil itu tak kalah cantik, dia manis dengan gaun merah mudanya sembari memangku kucing berbulu putih, Nala. Boneka-boneka khas anak perempuan berantakan di mana-mana. Caitlin sibuk menjahili Nala dengan boneka. Sementara Kirana hanya bisa menonton dan menikmati teh melati.

Caitlin beringsut mendekati Kirana dengan tawanya setelah berhasil membuat Nala mengamuk.

"Je bent zo fel, Nala." (Galak sekali kau, Nala) Perempuan hamil yang sedari tadi memperhatikan sontak saja ikut tertawa kecil. Anak ini, kenapa bisa sebegitu menggemasakan.

Menghiraukan Nala yang pergi ke bawah pohon dan meringkuk, Caitlin beralih pada Kirana. Mengelus lembut perut buncitnya. "Kirana, wanneer mag ik met je kind spelen? Is hij een meisje of een jongen?" (Kirana, kapan aku bisa bermain dengan anakmu? Dia perempuan atau laki-laki?) Caitlin menghela napas lucu. "Ik hoop dat het geen jongen is." (Semoga bukan laki-laki)

Dahi Kirana berkerut bingung. "Waarom?" (Mengapa?)

"ik vind het niet leuk! Dan is hij net zo'n bitch als mijn oudere broer. Hij is woest, net als papa. ik ben bang." (Aku tidak suka! Nanti dia menyebalkan seperti kakak laki-lakiku. Dia galak, sama seperti ayah. Aku takut) adunya dengan wajah yang merajuk menggemaskan. Lagi-lagi Kirana tertawa.

"Hmm... ik hoop ook dat ze een schattig meisje is zoals jij." (Hm ... aku juga berharap dia perempuan yang lucu sama sepertimu) balas Kirana halus sembari mengusap-usapi rambut pirang Caitlin.

Tenggelam dalam relung batinnya, Kirana terdiam menikmati belaian selendang angin yang membelai. Sementara Caitlin, anak itu bangkit menghampiri Nala yang sedang meringkuk tenang. Tiba-tiba Kirana menegang merasakan sakit yang tak terkira. Perempuan itu sedikit memcengkram perut. Mendesis, Kirana melihat cairan mulai membasahi kakinya.

"Tolong ... " lirihnya menahan kepedihan.

Dengan sigap Caitlin menoleh tatkala pendengarannya yang sensitif menangkap suara perempuan hamil itu. "Kirana?!" Gadis kecil itu berlari mendekat dengan raut khawatirnya.

"Cait-lin. Ziek." (Sakit)

"TANTE AMANDA! "(BIBI AMANDA!)

-'- -'- -'- -'- -'-

20 Januari 1942

Berandai-andai sesak tentang Edwin yang kalau saja membisikan rapalan ketenangan semerdu puisi di sampingnya. Parasnya yang tampan--macam saat melihatnya untuk yang terakhir--melembut menjabarkan ilusi. Hatinya kosong sembari merasakan sakit luar biasa. Ia tak bisa berdusta, bahwa saat ini, Kirana berandai jika Edwin sudi melihat anaknya lahir dari perut seorang gundik tak terharga.

Meski perempuan malang ini tahu, tak ada yang mungkin. Angan-angan bodohnya hanya sepenggal kemustahilan. Takkan ada Edwin yang macam itu. Kirana yang sadar kemudian terkekeh getir dalam benaknya yang selayak coretan sampah.

Perempuan itu menatap atap kamar dengan kosong. Wajah jelitanya pucat pasi. Sesak, sangat. Kirana telah berulang kali memohon dan bersimpuh pada Tuhan Mahabesar untuk membunuh renjana yang bersarang. Namun rupanya yang ditemuinya hanyalah kesia-siaan.

Berada di dalam dekapan kamar sang Sersan yang lagi mengarungi medan perang, membuat Kirana makin tersiksa. Makin kuat ia gigit bibir bawah. Pinus mengharum masuk, menyeruak hingga ke pangkal hidung. Kian membuat syaraf-syaraf seakan mati rasa.

Kirana yang jelita, yang kata Sartika secantik pesona Dyah Pitaloka. Orang-orang takkan menyangka jika nasibnya sama, mati dan mati rasa. Hanya butuh proses hingga binasa sepenuhnya terbesit dalam batinnya. Terlalu buruk. Bagi Kirana, jika kecantikannya bisa ditukar dengan kebahagiaan, tentu ia dengan senang hati untuk melakukan hal bodoh itu.

Kelereng mata Kirana bergerak sehabis sadar dari ketenggelaman otaknya. Mendengar suara tangisan merdu yang menyentil kalbu. Melodinya membubung haru. Tangisan bayi. Kirana menoleh kaku pada sosok bayi yang masih merah terbaring di sampingnya sejak dua jam lalu. Ia hampir lupa, jika malaikat berwujud itu nampaknya merasakan hampa yang sama.

Kirana menggeser badan lebih dekat meski semua tubuh kokohnya masih terasa sakit. Memandang haru dengan lingkaran mata yang memerah. Bibirnya tersenyum tipis penuh sirat keteduhan.

"Ma-af," bisiknya menenangkan. Punggung telunjuknya tergerak mengusap lembut pipi sensitif itu. "Jangan menangis, aku minta maaf." Setitik curah air mata mulai jatuh dari pelupuknya. Bayi itu masih menangis tesedu-sedu, membuat hati Kirana tanpa sadar tersayat pedih.

"Tenanglah, a-yah akan segera pulang. Aku yakin." Kirana mendekap halus bayi yang dibalut kain batik itu dengan tak tega. Barangkali, bayi ini juga merasakan rindu yang sama pada sosok yang juga sama.

Kirana menyesal telah membuat bayi tak berdosa ini ada dan lahir tanpa hubungan. Namun, takkan tega pula ia mengabaikannya meski sudah berusaha. Ia tetap ibunya, yang melahirkannya ke dunia. Ia harus bertanggung jawab, walaupun hanya bisa dilakukan dengan kesendirian.

Kirana berharap, dirinya dapat memberi cinta kasih yang cukup untuk anak ini. Menjaganya, hingga anak ini tidak tumbuh menjadi gadis kotor macam dirinya. Tidak ada yang tahu kapan Edwin pulang dan mempertanggung jawabkan ucapannya, membawa kata cinta yang belum terbuktikan. Berandai jika Tuhan dapat sudi untuk mengasihani.

EdelweisWhere stories live. Discover now