15. Proserpina

1.4K 231 7
                                    

-:*:- e d e l w e i s -:*:-

-:*:- e d e l w e i s -:*:-

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

-:*:-


"Kirana."

Begitu mendengar ada yang memanggil namanya, gadis itu menghentikan aktivitas; mengelap furnitur. Menoleh. Wanita berpakaian Jawa ningrat tersenyum di dekat pintu rumah yang terbuka.

"Mevrouw ... Amanda?" Dia nampak sedikit terkejut atas kedatangan seseorang yang tiba-tiba.

Kekehan anggun datang dari sang pemilik nama. Ia berjalan gemulai, duduk di atas sofa. "Duduklah," ucapnya, menepuk area kosong tepat di samping.

"Sebentar, Mevrouw. Saya ambilkan sesuatu dulu." Kirana buru-buru pergi ke arah dapur bersama lap yang belum sempat ia letakan.

Melihat hal itu, lantas Mevrouw Amanda menggelengkan kepalanya kecil sembari tersenyum menghadap punggung gadis itu yang mulai tak terlihat lagi.

Tak berselang lama, Kirana datang membawa cangkir dan teko cantik di atas nampan. Menekukkan lutut menyatu pada lantai, ia meletakan nampan di atas meja ruang tamu dekat tempat di mana Mevrouw Amanda duduk. Menuangkan teh dari teko ke sebuah cangkir dengan sopan.

"Ayo, kemari. Jangan duduk di lantai."

Dengan kaku ragu menuruti perintah, Kirana mengangguk dan duduk tepat di samping wanita itu. Telapak tangan Amanda terangkat mengusap-usap sejenak kepala gadis itu. Tersenyum, Kirana yang tidak tahu harus bagaimana, dia menipiskan bibir.

"Bagaimana kabarmu?"

"Sejauh ini ... baik, Mevrouw."

"Aku tahu. Kenyataannya tidak seperti itu, bukan?" Melihat keterdiaman Kirana seusai mendengar kalimatnya, membuat Amanda lagi-lagi terkekeh. "Kamu pasti ndak betah."

Sangat. Sangat tidak.

Sebab hal itu, Kirana memasang raut tak enaknya. Ia tak tahu lagi harus berkata macam apa, tadi itu memang kebenarannya.

Amanda menghembuskan napas santai, meraih gagang cangkir dan mengangkat piring kecil yang menjadi tumpuan. Menyesap sedikit teh hangat itu. "Sebenarnya kamu punya pilihan-" Dia meletakan kembali cangkir pada tempat semula. "Pergi atau menetap. Kamu mau memilih?"

Mulutnya terbuka kecil. "Saya ... " Kirana membasahi bibirnya sejenak. "Kalau saya pergi, masalahnya saya tidak punya uang cukup untuk pulang. Sekarang ... mungkin saya tidak punya pekerjaan jika kembali."

"Jadi, kamu terpaksa tinggal di sini?"

Gadis itu mengalihkan halus pandangannya dari mata Amanda. Menelan saliva, rautnya kian tak mengenakan.

"Lupakan. Mari kita bahas yang lain," katanya mengalihkan pembicaraan tatkala Kirana masih terdiam merangkai kata.

"Ah, iya. Aku ingin tahu bagaimana perkembangan Edwin saat ada kamu. Eduard sangat ingin tahu, tapi sayang dia masih sibuk mengurus gerai, jadi tidak bisa ikut kemari."

EdelweisWhere stories live. Discover now