Bab 9

78 8 0
                                    

Chana terbangun saat wajahnya terkena terpaan sinar matahari pagi. Ia menguap dan mengusap kelopak matanya dan melihat pada ruangan yang ia tempati. Saar melihat pada jam dinding yang menunjukkan pukul 11 siang, gadis itu langsung panik dan gelagapan. Segera ia ke luar dari kamar dan menuruni tangga.

Keadaan rumah sudah sepi dan tidak ada seorang pun yang membangunkannya. Chana berjalan menuju ruang tengah untuk mencari semua orang. Tetapi pandangannya terkunci saat melihat sosok tampan yang mulai ia segani itu. Marvel tengah duduk sambil memakan sarapan paginya. Hanya sebuah roti isi dan segelas susu dingin.

“Sini duduk. Sarapan sama saya,” ajak Marvel.

“Semuanya pada ke mana, Pak? Kok saya nggak dibangunin tadi? Saya jadi berasa tuan rumah kan,” balas Chana. Ia mendudukkan tubuhnya di depan Marvel. Ikut mengambil satu lembar roti tawar dan mengolesinya dengan selai coklat.

“Saya niatnya tadi mau guyur air ke kamu tapi mama saya bilang nggak usah dibangunin,” kata Marvel.

“Jahat banget orang cantik kayak saya dibanjur pakai air. Masih pagi tuh harusnya saya dikasih ciuman selamat pagi.” Chana berjalan membelakangi Marvel dan mengambil gelas untuk diisikan air putih.

“Minta sama pacarmu sana kalau mau ciuman selamat pagi,” balas Marvel.

“Pacar dari mana coba, Pak? Saya jomblo ini. Tapi nggak usah sama pacar kalau cuman begitu mah Nolan sama Rona bisa kasih ke saya. Kanan kiri kalau perlu mah,” kelakar Chana.

Marvel hanya mengangguk acuh. Ia berdeham sebentar lalu menghabiskan susunya sampai tandas. Sampai pria itu tidak sadar jika sebuah kumis susu melekat di atas bibirnya. “Saya ingin berterima kasih sama kamu karena udah mau datang untuk Aletha semalam. Karena kamu udah membantu Aletha, saya berikan waktu tambahan untuk kamu revisi skripsinya. Nanti saya kabari untuk jam konsultasi kamu berikutnya.

“Mau waktunya molor sampai minggu depan juga saya ikhlas sih, Pak.” Chana melahap potongan terakhir roti isinya. Ia berdiri dan mengambil selembar tisu. Mensejajarkan tubuhnya dengan posisi Marvel yang masih duduk di kursinya. Jemari lentik Chana mengusap wajah sang pria untuk membersihkan bekas susu yang menempel. “Maaf ya Pak.”

Dengan posisi yang sedekat ini membuat Marvel memandang lurus pada wajah gadis yang menjadi mahasiswi bimbingannya itu. Sudah lama ia tidak merasakan sentuhan wanita. Marvel diam mematung saat Chana berusaha mengusap permukaan bibirnya dengan tisu di tangan gadis itu.

Entah apa yang ada dipikiran gadis itu sampai berbuat seperti ini kepadanya. Marvel tidak bisa mengucapkan barang satu kata sekalipun. Netranya terfokus pada paras ayu sang gadis. Yang ternyata jika dilihat dari dekat seperti ini sangat cantik. Jantungnya seakan berdetak dua kali lebih cepat saat melihat Chana. Padahal gadis itu sudah menjauh dari hadapannya.

“Pak kedip dong, jangan kayak habis lihat setan gitu. Mukanya Pak Marvel merah tuh? Salting ya?” ejek Chana.

Marvel tersadar dari lamunannya. “Hah? Kamu bilang apa tadi?” tanya Marvel.

“Saya bilang itu muka Bapak merah, salting ya?”

“Saya salting? Ngaco kamu. Ini tuh saya kepanasan. Cepat habisin makanan kamu terus saya antar kamu pulang.”

Marvel bangun dari duduknya lalu mengambil handphone di atas meja. Ia menaiki tangga cepat dan masuk ke dalam kamarnya. Melangkahkan kakinya menuju cermin seukuran tubuh. Benar saja wajahnya masih memerah seperti tomat.

Marvel mengacak rambutnya kesal. Ia kesal melihat wajah yang memerah, ia kesal pada dirinya yang tidak tahu harus bersikap seperti apa, ia kesal pada Chana yang bisa berlaku padanya seenaknya. Pasti ini karena hawa panas saja makanya wajahnya memerah seperti ini.

Lebih baik ia sekarang mandi dan bersiap untuk ke kampus sekalian mengantarkan Chana pulang ke kos gadis itu. Marvel perlu menjernihkan otaknya dari banyak hal yang tidak seharusnya ia pikirkan.



***




Pajero hitam itu sudah sampai di depan rumah kost sang gadis. Chana melepas sabuk yang melekat di tubuhnya dan menoleh pada Marvel. Ia tersenyum lebar sampai mata gadis itu menyipit ke atas. Marvel hanya diam menatap tanpa ada niatan untuk membuka suaranya.

“Yeay udah sampai. Makasih loh Pak Marvel sampai repot-repot segala nganterin saya pulang padahal saya bisa minta Nolan antar saya pulang,” kata Chana.

“Sekalian saya mau ke kampus,” balas Marvel singkat.

“Okay. Ngomong-ngomong, Pak Marvel itu kelihatan tambah ganteng kalau lagi serius apalagi pakai kaca mata. Yang naksir banyak loh Pak. Saya salah satu saksinya.” Chana mengambil tasnya di bangku belakang dan bersiap untuk ke luar dari mobil.

Marvel juga melepas sabuk di tubuhnya dan menahan pundak Chana, membuat gadis itu menoleh ke arahnya, senyum mirip seringaian tersungging di bibirnya. “Saya nggak peduli omongan orang, tapi kamu apa nggak naksir juga sama saya, Chana Abigail?” tanya Marvel dengan suara beratnya.

“M-maksud Bapak a-apa ya? S-saya keluar dulu n-nanti Pak Marvel telat k-ke kampusnya,” balas Chana terbata-bata. Kali ini giliran wajahnya yang memerah.

Chana ke luar dari mobil dan membanting pintu tersebut. Kakinya melangkah cepat menuju tangga dan menaiki anak tangga tersebut dengan langkah kaki lebar. Ia ingin segera sampai di kamarnya. Chana tidak tahu rupa wajahnya sekarang seperti apa, yang pasti panas yang ia rasakan.

Gadis itu membanting pintu dan segera mengambil kaca untuk melihat wajahnya. Bisa ia rasakan jantungnya yang berdetak tidak karuan karena Marvellio Bevan Baskara. Chana meletakkan tangannya tepat di depan dada. Degup jantung itu masih berdetak dua kali lebih cepat. Chana mengambil bantal dan memukul benda itu kuat-kuat untuk melepaskan semua perasaan aneh di dadanya.

“Ya kali gue suka sama Pak Marvel? Nggak!! Nggak mungkin gue demen sama itu dosen killer?”

“Tapi jantung gue masih deg-degan banget, anjeng.”

“Pak Marvel pakai pelet apa gimana ya? Susuknya kuat banget.”

“MARVELLIO BEVAN BASKARA AWAS YA LO. Sampai bikin gue jadi aneh begini.”

Chana menoleh saat mendengar suara ketukan di pintu kamarnya. Segera ia berdiri dan membenarkan rambutnya. Saat pintu terbuka, di sana berdiri pria yang sama dengan pria yang mengantarnya pulang pagi ini. Apa tadi Marvel mendengar semua gerutuannya? Mau ditaruh dimana wajah Chana jika pria itu mendengar semuanya.

Chana menoleh ke sekitarnya yang benar-benar sepi. Mungkin banyak yang masih kuliah, tetapi ia yakin pasti nanti akan ada yang menggosipinya karena melihat Marvel ada di kos ini. Tidak mungkin juga Chana membawa Marvel masuk ke kamarnya. Ia tidak ingin dicap sebagai perempuan tidak benar.

“N-ngapain Pak Marvel ke sini? Tadi katanya mau ke kampus?” tanya Chana sewot.

“Ya harusnya sih ke kampus. Tapi kayaknya ada yang manggil nama saya tadi. Kalau nggak salah dari kamar ini,” balas Marvel santai. Ia bersandar pada pinggiran pintu di depan kamar Chana dengan dua tangan dimasukkan ke dalam saku celana.

“Mana ada? Nggak ada yang manggil Bapak perasaan. Saya nggak dengar tuh,” elak Chana tidak ingin mengaku.

Marvel tertawa kecil. Ia mengambil sebuah jepitan berbentuk bunga matahari yang terjatuh di jok mobilnya tadi. Lalu memakaikannya pada kepala Chana. Jemarinya lalu mengacak pelan rambut gadis itu. “Saya cuman mau balikin itu punya. kamu. Jatuh tadi di mobil saya. Sana kerjain revisiannya besok jumat saya tagih konsultasi. Saya pergi dulu,” pamit Marvel.

Chana diam mematung. Kini wajahnya benar-benar memerah lagi sampai ke telinga. Ia terlalu kaget dengan perlakuan Marvel. Gadis itu mencoba menampar pipi kanannya yang ternyata sakit dan itu bukan mimpi. Marvel benar-benar bersikap baik padanya. Chana kembali masuk ke dalam kamar.

Ia memegang kepalanya yang berantakan usai diacak oleh pria itu. Chana juga meraba jepitan bunga matahari yang memang hilang dan ia cari kemarin malam. Hatinya seakan diporak-porandakan oleh perbuatan kecil yang dilakukan oleh Marvel. Bagaimana Chana bisa menghadapi Marvel nanti jika bertemu langsung?






Aku ngetik ini beneran salting wkwk

The Skripsweet Thingy - Mark LeeWhere stories live. Discover now