Bab 7

90 11 0
                                    

Chana menundukkan kepala saat Marvel memeriksa lembar skripsi bab pertama yang sedang ia konsultasikan. Gadis itu tidak berani bertatap muka dengan sang pria, wajah gelisah lebih mendominasi, beberapa kali Chana dengan sengaja mencubit kuat-kuat pergelangan tangannya sampai memerah untuk mengurangi rasa gugupnya.

Ia mengalihkan pandangan dengan melihat ke sekitarnya. Suasana taman belakang yang tampak asri dengan banyaknya tumbuhan hias dan pohon-pohon rindang yang tumbuh di sana. Udara berhembus tidak terlalu kuat namun juga tidak terlalu rendah, berhembus mengenai permukaan rambut kecoklatannya. Membuat beberapa anak rambutnya berterbangan mengenai pipi gadis itu.

Marvel membuka satu persatu lembar skripsi milik Chana satu persatu. Tangannya bergerak cepat menorehkan tinta bolpoin warna merah di atas kertas putih itu. Matanya teliti menelisik sampai akhir bagian mana saja yang tidak cocok dengan perspektifnya.

Pria itu melepas kacamata berbingkai lingkaran dari atas hidung bangirnya. Lalu menyerahkan kertas-kertas itu ke hadapan Chana, meminta sang gadis untuk membuka dan memeriksanya sendiri. Marvel mengambil gelas berisi kopi hitam miliknya dan menyesap kopi yang mulai mendingin itu perlahan.

“Gimana, Pak? Saya acc bab 1 kan? Bisa langsung kerjain bab 2 kan?” tanya Chana.

“Lihat sendiri pekerjaan kamu itu. Masih banyak yang salah kok minta langsung ke bab 2,” jawab Marvel.

Chana mengambil kertas tersebut, tangannya membuka lembar demi lembar dengan mata membola lebar. Banyak sekali coretan warna merah di sana. Ia membuka sampai ke lembar yang terakhir tetap saja banyak kata revisi yang tertera. Gadis itu ingin menangis saja rasanya, ia mengerjakan dengan sungguh-sungguh padahal.

“Coba kamu lihat di poin identifikasi masalah dan limitasi masalah. Kamu kurang jelas memaparkan untuk siapa dan tertuju pada aspek apa kamu melakukan penelitian. Di bagian problem statements harusnya kamu isi dengan pertanyaan dan bukan pernyataan. Untuk apa kamu menanyakan hal yang mungkin sudah ada jawabannya.”

“Di bagian objek itu kurang kamu jelaskan penelitian itu bertujuan untuk siapa, di mana, apa tujuan kamu melakukan penelitian itu. Yang paling penting di bagian latar belakang. Kamu ambil metode kualitatif kan? Kamu harus menjelaskan secara detail bagaimana situasi yang sebenarnya lalu kamu tulis di kertas kamu. Jangan mengarang bebas! Itu tidak sesuai dengan aturan yang ada. Paham? Banyak revisi itu kamu,” jelas Marvel panjang lebar.

“Paham, Pak. Saya tahu kok,” balas Chana lesu.

Chana menjambak rambutnya saat tahu sebanyak apa revisi yang harus ia kerjakan nanti. Baru konsultasi pertama sudah membuat nyawanya seperti dicabut oleh malaikat, seperti tidak ada daya. Ia benar-benar mendengarkan penjelasan Marvel lalu mencatat setiap poin di buku catatan.

“Karena lumayan banyak saya kasih waktu sampai hari sabtu jadi nanti.” Marvel membuka laptop hitam dan menaruhnya di atas pangkuan pria itu.

“Kok sabtu sih Pak? Weekend tahu. Senin aja jangan sabtu. Emangnya Bapak nggak mau liburan sama Aletha? Sabtu dan minggu itu jadwalnya sama keluarga,” tolak Chana mentah-mentah dengan bahasa yang masih ia perhalus.

“Kok jadi kamu yang ngatur waktu quality time saya sama anak saya? Lebih cepat kamu revisi, lebih cepat juga kamu bisa lanjut ke bab 2,” balas Marvel tidak mau kalah.

“Saya bukannya ngatur ini Pak. Saya hanya memberikan saran kan kemarin Bapak nggak jadi liburan sama Aletha karena keteledoran Pak Marvel sendiri,” kata Chana.

Marvel melirik sinis pada gadis yang duduk di sebelahnya itu tidak suka. Mengumbar kembali kesalahannya benar-benar tidak sopan. Gondok sekali Marvel bisa punya anak bimbingan seperti Chana. “Baiklah. Kamu konsultasi ke saya hari senin dan harus sesuai dengan apa yang saya minta.”

“Yes! Nah gitu dong, Pak. Bapak jadi tambah ganteng kalau nambah waktu buat revisi skripsi saya.”

“Nggak usah menjilat saya kamu.”

“Kalau begitu saya bisa pamit kan ya, Pak?”

“Silahkan.”

Chana membereskan barang-barangnya di atas meja dan berbalik arah meninggalkan area taman keluarga Baskara. Saat hendak menuju kamar Nolan untuk mengambil tas, Chana tidak sengaja bertemu dengan Aletha. Gadis kecil itu tampak manis dengan gaun berenda warna merah muda.

Aletha sedang mengusap perlahan sebelah matanya, menoleh pada sekitarnya yang tampak sepi untuk ukuran rumah besar seperti ini, mencari semua orang. Tampaknya gadis itu seperti sudah bangun dari tidur siangnya.

“Halo sayang, kamu lagi cari siapa?” tanya Chana.

Aletha menoleh, seketika rasa kantuknya hilang. “Kakak cantik! Kok bisa ada di sini? Ale lagi cari papa sama oma.”

“Kakak cantik habis belajar sama papa. Papa kamu ada di taman belakang tuh, mau kakak cantik antar?” tawar Chana.

“Nggak usah, Kak. Ale bisa sendiri kok. Kakak cantik, Ale boleh minra peluk satu kali nggak?”

“Boleh. Sini sayang.”

Chana menaruh barang-barangnya di atas meja besar dan berjongkok di hadapan Aletha. Merentangkan tangannya lebar-lebar dan disambut tubrukan tubuh mungil yang memeluknya erat. Chana balas memeluk Aletha erat, seerat pelukan gadis kecil itu di tubuhnya, sembari menepuk perlahan punggung mungil itu.

“Ale lagi kangen banget sama mama, Ale kangen dipeluk sama mama, tapi kata oma papa sama mama udah nggak bisa tinggal sama-sama lagi. Pelukan dari Kakak cantik nyaman banget, Ale suka.”

“Mama pergi dan nggak pernah ketemu sama Ale lagi. Ale punya salah ya sama mama sampai mama nggak mau ketemu lagi sama Ale? Setiap kali Ale minta buat ketemu sama mama, papa selalu nggak bisa. Oma, Om Nolan, Om Theo sama Om Eros juga nggak mau antar Ale.”

Chana jadi tersentuh dan secara tidak sadar air matanya menetes. Tidak menyangka jika Aletha sudah menanggung beban seberat itu sejak dini. Apalagi diumurnya yang masih bayi. “Kamu nggak salah, sayang. Kapanpun Ale butuh pelukan, kamu bisa peluk Kakak Cantik. Jangan sedih ya sayang. Janji sama Kakak kalau kamu harus terus tersenyum. Kamu akan jadi lebih cantik kalau tersenyum.”

“Ale boleh peluk Kakak Cantik kapanpun? Terima kasih Kakak! Ale sayang sama Kakak Cantik,” ucap Aletha tersenyum manis.

“Sama-sama Aletha. Sekarang, Kakak pamit pulang dulu ya? Besok kita main lagi. Papa kasih banyak tugas ke Kakak jadi harus cepat dikerjain. Kalau nggak nanti Kakak dimarahi sama Papa kamu,” pamit Chana.

Aletha melepaskan pelukan mereka lalu menganggukkan kepala perlahan. Tatapan matanya seperti enggan melepaskan tetapi juga tidak ingin membuat Chana dimarahi oleh sang papa. Chana mengusap gemas rambut Aletha. Tangannya kembali mengambil barang-barang di atas meja.

Aletha lalu berlari menuju taman belakang menyusul keberadaan Marvel di sana. Saat gadis itu ingin melanjutkan langkahnya, dering panggilan masuk menyapa indra pendengarannya. Chana mengambil handphone dan mengangkat panggilan dari Hegar yang tertera di sana.

“Halo? Kenapa Gar?”

“Lo mau ikut gue, Regan sama Clara nggak? Rabu si Regan sama Clara sidang tapi belum ada persiapan. Ini mau jalan cari camilan buat pengawas.”

“Dih udah sidang aja. Gue loh baru konsultasi bab 1 itu aja revisi.”

“Ya lo sih segala drama ngambekin Pak Marvel. Lo dimana? Biar gue jemput.”

“Sialan. Gue di rumahnya Nolan habis konsultasi, lo ke sini aja. Gue tunggu di depan rumah.”

“Waduh konsultasi segala datang ke rumah. Tunggu 10 menit ini gue ke sana.”

Chana mengantongi handphone ke saku dan menuju kamar Nolan di lantai dua. Saat masuk yang dilihatnya pemuda itu sedang tertidur pulas dengan tangan masih memegang stik ps. Ia tidak ingin membangunkan karna tahu pola tidur sahabatnya itu berantakan sekali semenjak mengerjakan skripsi.

Chana mengambil perlahan tasnya dan berjalan keluar dari kamar. Menutup pelan-pelan pintu kamar agar tidak membangunkan Nolan. Jika pemuda itu terbangun pasti akan memaksa untuk mengantar Chana pulang ke kosan. Memang bertanggung jawab sekali anak itu. Sekalian berpamitan dengan Renata karena Hegar sudah menunggunya di depan gerbang.

The Skripsweet Thingy - Mark LeeWhere stories live. Discover now