Bab 41

144 17 0
                                    

Sesuai dengan kesepakatan, Rami menantinya hingga ia selesai dengan urusannya di dalam kamar Diola. Setelah memastikan jika perempuan itu sudah benar-benar terlelap, Irvin undur diri dan keluar dari kamar tersebut dengan cara mengendap-endap.

Sementara sosok Rami telah menunggu di depan kamar Diola, bersedekap dan menghampirinya seolah-olah menagih ucapannya tadi.

Irvin berdeham dan sempat salah tingkah kala Rami menghujaninya dengan tatapan—masih seperti sebelumnya. Ekspresi kerasnya belum juga luntur, dan membuat pria itu sedikit gentar.

Namun, semua itu tidak berlangsung lama. Ketika akhirnya Rami melepaskan tatapan tajamnya pada Irvin dan memilih untuk menunduk memandang kosong pada ujung sepatunya.

"Bagaimana kondisinya?" pria itu bertanya dengan nada datar.

Irvin mengernyitkan dahi.

"Ng, baik. Dia... baru saja tertidur," ungkap Irvin sedikit ragu.

Rami mengurai dekapan kedua tangannya di depan dada, lalu menyelipkannya pada kedua saku celananya. Sejurus kemudian mendongak dan mengerucutkan bibir. Ia mengangguk singkat, tanpa menunjukkan ekspresi apa pun.

"Syukurlah," ucapnya lega.

"Uhm, anyway, mengenai ucapan saya tadi. Anda tahu, saya dan Diola. Well, kami... saya rasa—" Irvin tergagap dan kembali salah tingkah.

Baru kali ini dirinya menciut dan kalah di bawah dominasi pria asing yang sempat menjadi rivalnya tersebut.

"Ya, ya. Saya sudah tahu."

Irvin melipat kedua bibirnya membentuk sebuah garis lurus, kemudian menganggukan kepala. Menahan rasa malu dalam dirinya karena telah berpura-pura mengaku sebagai kekasih Diola. Padahal lawan bicaranya itu sudah mengetahui apa yang sebenarnya terjadi antara dirinya dan Diola.

"Ah, tentu saja. Cepat atau lambat Anda pasti akan tahu. Diola jelas sudah memberitahu Anda, huh?" ujar Irvin sembari menggaruk bagian belakang kepalanya.

"Well, selamat Mr. Stanley. Anda sudah terpilih—" imbuh pria itu lalu mengulurkan tangan. Meski demikian Rami tidak menggubrisnya sama sekali. Pria itu hanya memandang kosong ke arah uluran tangan Irvin.

"Baiklah. Anda mungkin kesal dan tidak akan pernah membalas jabat tangan saya," Irvin menarik kembali tangannya dan membentuk bogem. Kemudian ikut menyembunyikannya di balik saku celana. Melakukan hal yang sama seperti yang Rami lakukan.

"Aku ingin melihatnya," ujar Rami lalu bergeser sedikit. Mencoba meraih handle pintu kamar Diola, sebelum akhirnya Irvin menggagalkan aksinya teresebut.

"I don't think so, Ram."

Rami yang tidak suka jika pria itu memanggilnya dengan nama depannya, menoleh dan menyipitkan kedua matanya.

"Why?!" tanya Rami dengan nada penuh ketidaksukaan.

"Hm, seperti yang saya bilang tadi. Ola baru saja tertidur. Dan dia benar-benar butuh istirahat yang cukup untuk pemulihannya. Tolong pengertiannya, Mr. Stanley."

Jeda sejenak.

"Lagi pula, Anda bisa menjenguk atau bahkan melihatnya kapan pun Anda ingin. Karena kalian tinggal bersebelahan. Am I wrong?"

Rami praktis menjauhkan tangannya dari kenop pintu kamar Diola dan tentu saja mundur selangkah ke belakang.

So, Irvin sudah tahu mengenai keberadaannya di tempat ini. Yah, mungkin di dalam sana—beberapa saat yang lalu, Diola memang telah menceritakan segalanya pada Irvin. Mm... Ikatan persahabatan mereka tidak bisa diragukan.

AFTERTASTE ☑️Where stories live. Discover now