Bab 2

308 22 0
                                    

Hari Sabtu adalah hari dimana ia dan Diola akhirnya benar-benar berpisah. Sesuai jadwal—seperti pengakuan yang disampaikan oleh Diola—kereta yang ditumpangi perempuan itu akan berangkat pagi itu. Namun, tidak tahu tepatnya jam berapa. Karena Diola menolak untuk memberitahunya.

Bahkan hingga saat ini, dirinya masih kesulitan untuk menghubungi Diola. Well, perempuan itu jelas-jelas telah menutup semua akses. Sejak terakhir kali keduanya berbicara di telepon, sampai dengan saat ini upayanya selalu berujung penolakan.

Hampir saja Rami berbuat nekat dengan mendatangi rumah kediaman nenek Diola hanya untuk menyelesaikan urusan keduanya yang belum selesai. Tapi, tidak jadi. Karena Eleanis menyampaikan padanya jika dokter telah mengizinkan Noura untuk pulang di hari yang sama dengan kepulangan Diola.

Kebetulan sekali bukan?

Dan pada akhirnya Rami memilih untuk mendampingi Noura.

Jadi, di sinilah ia berada. Berdiri bersandar pada salah satu pilar yang ada di lorong rumah sakit. Sibuk mengetikkan sesuatu pada layar ponselnya. Sementara itu Eleanis tengah mengurus berkas administrasi yang harus diselesaikan sebelum Noura diizinkan pulang.

Pria itu tampaknya sudah mulai menyerah dengan keteguhan hati Diola—yang berusaha menghindarinya dengan cara seperti ini. Ia bahkan sempat berpikir jika sejak awal Diola sudah tahu mengenai izin pulang yang diberikan oleh dokter dan sengaja mengambil jadwal keberangkatan di hari yang sama dengan kepulangan Noura.

Kabari aku kalau sudah sampai.

Sudah. Pria itu rasa sudah cukup seperti itu saja. Ia tak perlu menulis banyak kalimat. Karena pada akhirnya ia hanya ingin Diola mengabarinya jika sudah sampai di Semarang.

Tak lama kemudian, Eleanis keluar dari ruang administrasi dan menghampirinya. Di tangan perempuan itu terdapat sebuah map yang berisi surat pengantar dari rumah sakit yang menyatakan pasien sudah bisa pulang.

"Aku ke kamar dulu, bantu Noura kemasi barangnya. Kamu pergilah ke kasir," ujar Eleanis memberi arahan.

Rami mengamit map tersebut dengan ekspresi datar. Kemudian segera menuju kasir, persis seperti instruksi Eleanis.

"Are you okay, Ram?" Eleanis bertanya sambil menepuk pundak pria itu.

"Ya, I'm okay," jawab Rami dan berlalu tanpa menghiraukan ekspresi bertanya-tanya yang ditunjukkan oleh sahabatnya itu.

Sambil berjalan menuju kasir, Rami berkali-kali melihat ponselnya. Cemas karena tak kunjung mendapat balasan. Meski berusaha untuk tak merasa gundah seperti sekarang. Namun nyatanya ia tak bisa menyembunyikannya.

Ia tersenyum kecut. Menertawakan dirinya sendiri saat ini. Bagaimana ia bisa bertingkah seperti sekarang? Kacau. Lihat, seperti apa pengaruh Diola terhadapnya.

Lagi pula, sebelum Diola menjawab pertanyaannya sore itu. Dirinya tak akan pernah merasa tenang. Akan selalu penasaran. Well, tanpa ada jawaban sebenarnya pun Rami dapat menilai. Tapi, ia ingin mendengarnya langsung dari mulut perempuan itu. Rami butuh Diola untuk jujur terhadap perasaannya.

Selesai berurusan dengan kasir juga berkas administrasi Noura. Rami segera kembali menuju kamar Noura. Namun, di tengah perjalanan ponselnya berdering menandakan sebuah panggilan masuk. Ia buru-buru merogoh saku celana denimnya dan berharap lebih. Bahwa Diola-lah yang menghubunginya.

"Ya. Gimana, Le?"

Meski awalnya kecewa karena harapannya pupus begitu melihat nama Eleanis yang muncul. Tak berselang lama ia dibuat terkejut dengan permintaan sahabatnya tersebut. Yang menurutnya tidak masuk akal. Dan kelewat brilian!

AFTERTASTE ☑️Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ