Bab 29

123 15 0
                                    

Dengan memeluk sebuah bantal, Diola duduk menyilangkan kedua kakinya di atas kasur. Punggungnya bersandar pada kepala ranjang. Sementara ia menatap kosong ke arah foyer yang terletak tepat di bawah layar televisinya. Setengah sadar perempuan itu menggigit ujung kuku ibu jarinya. Sedangkan pikirannya jelas tengah jauh berkelana.

"Aku nggak bisa, Dio. Tidak bisa seperti ini."

Diola menghela napas.

Dadanya terasa sakit kala kalimat tersebut kembali terngiang di dalam kepalanya. Bagaimana tidak? Dari semua peristiwa yang telah ia dan Rami lewati. Dapat disimpulkan jika memang keduanya tersiksa dengan keadaan saat ini.

Penyesalan memang datang diakhir. Dan mungkin itulah yang sedang di rasakan oleh Diola setelah keputusannya seminggu yang lalu. Sementara Rami, well, pria itu pun sepertinya tak kalah menyesalnya karena telah melakukan kesalahan paling pertama.

Kalau saja pria itu tidak meninggalkannya. Kalau saja Diola tidak memutuskan untuk mengakhiri hubungan mereka. Mungkin saat ini keduanya takkan pernah merasakan siksaan seperti sekarang.

Perasaan yang masih saling memiliki. Hati yang masih saling tertaut satu sama lain. Mereka dekat—bahkan hanya dibatasi oleh dinding kamar saja. Tetapi, berkat keputusan gegabah yang diambil oleh Diola. Mungkin saja jarak di antara mereka akan tercipta setelah ini.

Walau pun pada teknisnya, pria itu mengetahui isi dalam hatinya. Tapi, tetap saja. Diola harus berpegang teguh pada keputusannya seminggu yang lalu. Dirinya dan Rami, hanya sebatas teman saat ini.

Tapi, apakah mungkin ia akan sanggup menjalani semua itu? Jika kini ia dan Rami tinggal di tempat yang sama, bahkan bersebelahan!

Perempuan itu memejamkan mata, dan berhenti menggigit ujung kuku ibu jarinya. Ia meremas erat bantalnya, lalu mendongakkan kepala.

Ia sadar satu hal, semakin kuat keinginannya untuk menjauh atau bahkan menghilang dari kehidupan Rami—dan mengembalikan kehidupan normalnya. Akan diimbangi dengan kesungguhan pria itu untuk tetap berada dekat dengannya.

Jadi, mungkin akan selamanya seperti itu. Atau memang sebenarnya mereka ditakdirkan untuk tidak terpisah sama sekali?

"Ram, buka pintunya!" teriak Diola setelah berhasil menyusul pria yang baru saja menghilang di balik pintu kamarnya.

Satu detik. Dua detik. Beberapa detik berlalu, namun, tak kunjung mendapat respon sama sekali.

Buru-buru Diola mengamit ponsel yang ada di dalam tasnya. Kemudian mencari nomor kontak Rami dan menghubunginya melalui sambungan telepon. Sambil terus mengetuk bahkan memukul pintu kamarnya.

Setelah menunggu beberapa jenak, pria itu akhirnya menjawab panggilan telepon Diola.

"Dio, kamu berisik sekali," ujar Rami dengan nada suara resah.

"Hey, can you just open this f*cking door?!"

"Oh, wow! Easy, Dio. Kamu... kenapa kasar sekali? Tidak bisakah kamu bersikap baik dengan tetanggamu sendiri?"

Te-tang-ga? See? Pria itu benar-benar punya banyak cara dan ide brilian. Tidak pernah kehabisan sama sekali. Bagaimana pria itu bisa tiba-tiba saja menjadi tetangganya? Sementara sampai dengan tadi pagi, Diola masih bertegur sapa dengan tetangga yang sebenarnya.

Apakah pria itu sedang bercanda dengan situasi saat ini? Sialan, Stanley!

"A-apa kamu bilang? Tetangga?"

"Ya. Dan, uhm... Dio. Bisakah kita hentikan ini dan beri aku waktu untuk beristirahat? Aku baru saja datang dan mengurus kepindahanku. Kita akan bicara nanti malam."

AFTERTASTE ☑️Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ