42 - Hanya Bahu si Kembar

720 73 23
                                    

Seorang gadis berdiri tak jauh dari tempat tinggalnya, menatap takut pada rumah itu. Di tangannya terdapat sebuah ponsel yang memperlihatkan panggilan masuk dari sang Mama. Berulang kali bergetar tanpa berani dia terima.

Sekali lagi, Ayyara menghembuskan napasnya pelan, berusaha menghilangkan rasa cemas dalam benaknya. Ini lebih menegangkan dari saat dia kompetisi di atas panggung. Rasa-rasanya seperti dia akan dimutilasi hidup-hidup.

Derum mobil terdengar dari samar menuju kentara. Pemilik mobil menurunkan jendelanya ketika mobil hitam itu berhenti di sebelah jalan tempat Ayyara panik.

“Ay, masuk!” suruh Arya.

Buru-buru Ayyara masuk ke dalam mobil Arya. Arya satu-satunya solusi untuknya.

“Gak usah pulang.”

“Kak,” cicit Ayyara, menunjukkan ponselnya yang terus bergetar.

Arya menengadah beberapa detik. Berpikir keras mencari jawaban atas peristiwa yang menimpa mereka. Dia menginjak pedal gasnya setelah menemu jawaban. Mau bagaimana pun, rumah itu menjadi tempat mereka pulang. Seburuk apapun.

“Percaya gue. Mama sama Papa gak mungkin marah lihat lo sekeren tadi.”

Bagi Ayyara hal tersebut hanya ramuan penenang, bukan penyembuh. Ia meremas tangannya setelah mobil Arya terparkir rapi di garasi. Mengikuti pergerakan Arya yang turun dari mobil.

“Ada gue.”

Arya menarik tangan Ayyara pelan. Berjalan menuju pintu utama rumah besar dan ... Mengerikan. Dengan hati-hati, Arya membuka pintu. Sedetik kemudian tamparan keras mendarat pada pipi Ayyara membuat dua remaja itu tersentak kaget.

“Arya ke kamar!” perintah Papa si kembar.
Kepala Arya menggeleng. Cowok itu menarik tubuh Ayyara agar bersembunyi di balik punggungnya.

“Arya!” tegur Raya.

Sorot mata Rey tertuju pada sosok Ayyara di balik punggung tegap Arya. Tajam, setajam bilah pisau. Seakan-akan, tatapan tersebut menjadi nyawa dua remaja tersebut. Salah kata bisa membuat mereka mendapat hukuman.

“Kamu!” gertak Rey. Pria itu mendekati Ayyara, sontak membuat Arya memundurkan langkahnya dan semakin mengeratkan genggaman mereka.

“Arya, Papa ulangi sekali lagi. Ke kamar!”

“Gak, Arya gak akan biarin Ay sendiri!”

Dua laki-laki sedarah saling beradu tatap tajam. Menyorot amarah dan kebencian yang begitu kental.

Everyone has a choice in life. Wajar Ayyara kejar mimpinya, dia bukan boneka!” kelakar Arya.

“Mimpi apa yang kamu bicarakan? MIMPI APA?” sentak Rey. Jari telunjuknya bergerak mendorong kuat dada Arya.

“Apa komentar orang kalau tau putri Reynanta Cuma seorang pemain biola yang gagal?”

Tanpa bisa dikontrol lagi, Arya terkekeh sinis. Merasa lucu terhadap ujaran kalimat dari Papanya.

“Papa malu sama rekan-rekan bisnis Papa? Tapi Papa gak malu kalau gagal jadi sosok Papa?” serang Arya.

Rey tertegun sekejab. Tatapan Arya benar-benar persis dengan tatapannya ketika marah. Seolah dia sedang bercermin. Namun, kembali lagi tersadar.

“Jadi ini balasan kamu ke orang tua yang udah besarin kamu? Ngelawan, jadi pembangkang dan susah diatur?”

“Kita Cuma mau kejar mimpi kita, Pa, bukan lawan Papa. Kita butuh support, koreksi kalau salah, tuntun lagi sampai kita berhasil. Kita Cuma butuh itu, bukan kata-kata pesimis dan perintah buat nyerah,” papar Ayyara ikut bersuara.

PYTHAGORAS (END)Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin