41 - Mimpi yang Lebur

646 76 12
                                    

Meletakkan sebuah ekspektasi berlebihan di pundak manusia adalah sebuah kebodohan yang pernah dilakukan semua orang. Sudah berulang kali kenyataan mematahkan sebuah khayalan indah yang tercipta. Merajut kecewa dan mengundang air mata yang sulit disembuhkan.

Hormon cortisol dan epinephrine Ayyara terlepas begitu matanya melihat kekasihnya berpasangan dengan gadis lain. Memicu sesak pada dada serta pening pada kepala. Rasa-rasanya leher Ayyara seperti dicekik erat, dipaksa berhenti bernapas detik itu juga.

“Kak..” lirih Ayyara gemetar hebat.

Arya cepat-cepat membuka ponselnya, menghubungi Arzan yang apartemennya tidak jauh dari gedung kompetisi.

“Ke gedung Chandrawinata sekarang!”

Di seberang sana, Arzan menegakkan badannya saat suara tegas Arya terdengar.

“Ngapain?” tanyanya.

“Apin tampil sama Fanny, Ay butuh partner. Buruan sisa 3 menit.”

Arya mematikan ponselnya, tangannya mencengkeram erat pada benda pipih tersebut. Emosinya memuncak, ingin menghajar habis laki-laki gila itu. Arya merangkul pundak Ayyara seolah menyalurkan sebuah energi pada gadis itu. Ayyara tidak boleh down terlebih dahulu. Gadis itu harus menyiapkan diri untuk tampil setelah nomor 3.

“Gue benci,” bisik Ayyara.

Akan Arya pastikan jika Apin tidak memiliki kesempatan lagi dari Ayyara. Perlu digarisbawahi bahwa Ayyara bukan gadis gila cinta yang akan tutup logika.
Sementara di sisi lain, Arzan berlari tergesa-gesa menuju lobi apartemen.

Cowok itu hanya bermodalkan satu ponsel dan penampilan yang tidak mengenakan pakaian formal. Arzan tidak peduli, yang penting dia hadir di sana, menemani Ayyara berjuang.

Sepanjang langkah lebarnya dalam berlari, Arzan selalu memikirkan kondisi hati Ayyara. Pasti sangat berantakan, kacau dan terluka.

Napas Arzan terengah-engah. Dia berlari memasuki gedung yang Arya maksud. Kompetisi yang diselenggarakan tidak jauh dari tempatnya berada. Mata Arzan tertuju pada Arya dan Ayyara. Ia mempercepat langkahnya saat seorang pembawa acara mulai memanggil nomor 3.

“Ay,” panggil Arzan.

“Sekarang, Zan,” ujar Arya, membantu Ayyara berdiri.

Apin mencegah. “Ayyara sama gue.”

“Gak bisa tolol. Lo pikir pakai otak lo, anjing!” sentak Arya benar-benar di ambang emosi. Sorot matanya tidak bisa berbohong. Dia marah, panik, kecewa.

Arzan menarik lengan Ayyara pelan. Sedangkan Arya, mengurus Apin agar tidak memaksa tampil lagi.

Apin menatap nanar punggung perempuan yang hatinya dilukai baru saja. Apin tidak tahu jika dalam peraturan, dia hanya bisa tampil satu kali. Apin sungguh merasa sangat bersalah. Ia menjambak kasar rambutnya.

“Zan,” cicit Ayyara cemas.

Arzan berbalik, menyentuh pundak Ayyara yang terdapat beban berat. Dia tersenyum berusaha meyakinkan Ayyara bahwa mereka bisa.

“Canon In D. Kita bisa, Ay.”

Setelah itu mereka memasuki area stage langsung disambut ricuh tepuk tangan para penonton.

Arzan duduk di kursi piano. Dia menatap Ayyara yang menatapnya ragu. Sebisa mungkin Arzan menebar senyum, mencoba menyalurkan semangat.

“Bisa. Fokus, ya? Demi mimpi lo,” bujuk Arzan lembut.

Cowok itu mulai menekan tuts piano sesuai partitur yang dia hafal. Berteman dengan Ayyara bertahun-tahun membuatnya tidak asing terhadap macam-macam alat musik. Bahkan dia bisa memainkannya.

PYTHAGORAS (END)Where stories live. Discover now