─ xxi: "THE MAN WHO CALLED HIM ICARUS"

Comenzar desde el principio
                                    

       Ia pun memutar tubuh demi bertatapan dengan indra cermin dan merapikan tatanan rambut untuk yang terakhir kali selagi menambahkan, "—meskipun kelicikan ikut serta."

       Archibald tak mungkin kehabisan kata ketika garis-garis di tangan memuntahkan keringat begitu tinju tercipta. Namun, terlalu pagi untuk memulai perdebatan ketika mereka baru saja menyelesaikan sarapan. Maka ia hanya berucap, "Setelah semua yang kau katakan padaku, masih haruskah kupertimbangkan memberimu pengakuan? Kau bahkan tak pernah menghormatiku sama sekali!"

       Begitu tatanan rambutnya sempurna, melalui indra cermin—yang membuatnya bertatapan dengan Archibald—ia menjawab, "Aku sudah menghormati Ayah dan mengorbankan segalanya sejak lama. Namun, apa yang kudapatkan? Tuntutan dan dibandingkan. Aku lebih baik tak pernah cukup baik untuk menjadi seorang Wistletone karena semua stigma yang kau buat hanyalah kegilaan."

       Ia memutar tubuh seketika. Mengambil langkah untuk melewati sang ayah tanpa menciptakan kontak mata dan meninggalkan ruangan. Teman bicara pagi ini yang ditinggalkan, menyusul cepat nyaris menyamai langkah kaki Richard. Namun, di samping lukisan Ikaros yang terjatuh, Archibald menarik bahu sang putra demi kontak mata.

       "Semua perintah yang kuberikan demi kebaikanmu, Richard—" telunjuknya ikut campur dalam penuturan, "—dan kau tak bisa melakukan apa pun tanpaku. Kau lihat Adam dan bagaimana dia tumbuh. Sebab dia selalu mendengarkanku, dia menjadi salah satu yang terbaik dan kau menyebut perintahku adalah stigma kegilaan?! Kau bersembunyi di balik pengakuanmu!"

       "Aku tak ingin berdebat pagi ini, Ayah! Jangan buat suasana hatiku memburuk!" cercanya bersama dengan entakan kepala.

       "Maka tunjukkan sedikit rasa hormat padaku! Jaga bicaramu dan tunjukkan bahwa kau memiliki sopan santun! Kau tak akan menyebut perintahku sebagai stigma kegilaan sebab kau, dengan caramu sendiri, bahkan tak menghasilkan prestasi apa pun!"

       "Selalu saja begitu," gumamnya mengakibatkan sepasang alis Archibald menuntut penjelasan.

       Pasca kerlingan pada sudut-sudut lantai, beberapa lukisan di dinding dan berakhir menabrakkan atensi dengan si lawan bicara, ia melanjutkan, "Hormati, dia ayahmu. Hormati, dia lebih tua darimu. Hormati, dia memiliki jabatan yang lebih tinggi darimu—" netranya berotasi singkat, "—Mengapa tak katakan, hormati dia karena dia menghormatimu? Orang yang selalu dihormati terkadang lupa cara menghormati orang lain. Hanya karena Ayah lebih tua dariku, bukan berarti aku harus selalu menghormatimu ketika kau sendiri tak pernah menghormatiku! Kurasa orang-orang mulai mengandalkan umur untuk mendapatkan rasa hormat. Sungguh memalukan moralitas orang-orang tua itu."

       Archibald hampir menyelinapkan kata di antara penuturan Richard, beruntung kesempatan itu tak pernah datang. "Rasa hormat yang diagungkan para orang tua justru terdengar seperti tradisi kuno peradaban yang sulit dihapuskan bagiku. Ajaran itu salah, tapi pahamnya sudah ditanamkan sejak kami kecil, lalu diwariskan ke generasi berikutnya. Ini adalah cuci otak yang tidak kentara dan aku akan mewariskan pahamku sendiri soal menghormati orang lain untuk menghindari moralitas yang rusak karena orang tua mereka sendiri! Orang-orang sepertiku juga layak mendapatkan rasa hormat dari orang tua kami karena kami sudah melakukan yang terbaik untuk mereka! Sedikit apresiasi juga bisa diperhitungkan."

       Untuk beberapa alasan, amarah Archibald meredup ketika ia hanya mampu bergumam alih-alih berteriak dan mengulas percakapan baru saja. "Kau adalah Ikaros, Richard, dan kau tahu apa yang terjadi padanya?" Ketika atensi mereka bertemu, lukisan Ikaros yang berteriak dari singgasana surya melukiskan malapetaka di samping keduanya. "Dia mati karena tak mendengarkan ayahnya."

       Richard menggeleng. Sepasang sudut bibir menggapai angkasa. "Aku bukan Ikaros, tetapi Richard Leonel Wistletone. Setidaknya ayah Ikaros memeringatkan hal baik untuk mencegahnya mati, tapi kau justru melakukan sebaliknya. Memintaku bergabung dengan Angkatan Laut Kerajaan untuk mati. Kau yang Ikaros, Ayah, dan aku sudah kehabisan waktu. Selamat tinggal. Kuharap kau tahu untuk apa kau bertahan hidup. Menyaksikan kematian jiwa anak-anakmu atau menanti masa depan yang akan kami berikan padamu. Sampai jumpa lagi."

       Tubuh terputar, langkah ditinggalkan dan Archibald masih menatap punggung sang putra dalam kebisuan hingga pemuda itu berhenti di hadapan lukisan Morrigan—dewi perang dan takdir Irlandia—berwujud gagak yang terbang di antara tarian dedaunan.

       Sisi wajah menyapa sang ayah yang kehilangan kata, sementara kerlingan tetap mengawasi pria paruh baya itu hingga lidah memelesetkan kata, "Ikaros," sebelum langkah lain semakin meninggalkan Archibald dalam kesendirian dan lorong yang luas di sepanjang jajaran lukisan itu membuatnya menciut. Netra berdetak menyaksikan seseorang melekat di punggung Richard—ada dalam diri dia.

       "Ikaros," gumamnya. "Kau juga memanggilku dengan sebutan itu dulu."

◖ ᪥ ◗

A/N: halo!!! udah lama ga update. maaf, sibuk banget akhir² ini. chapter ini juga pendek banget plus ga sesuai sama rencana awal wkwk tapi gapapa, kayanya si bapak wistletone ini deserves dapet chapter spesial dikit 😏 itung² ngupas dikit masa lalu si bapak wistletone wkwk. walaupun pendek semoga bisa dinikmati dan ga janji buat update cepet juga. intinya kl udah siap pasti update. semangat buat kalian semua dan sehat selalu! juga, terima kasih sudah bertahan sampe sejauh ini 😊❤

 semangat buat kalian semua dan sehat selalu! juga, terima kasih sudah bertahan sampe sejauh ini 😊❤

¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.

15.9.2022

°tolong pertimbangkan untuk memberikan vote dan/atau komentar jika kalian menyukai cerita ini karena itulah bentuk dukungan kalian.
cheesydorian

The Theory of MetanoiaDonde viven las historias. Descúbrelo ahora