─ xxi: "THE MAN WHO CALLED HIM ICARUS"

139 26 128
                                    

THE THEORY OF METANOIA

CHAPTER TWENTY ONE • THE MAN WHO CALLED HIM ICARUS

Life is not just about winning or losing.❞

       SALAH satu angka dalam kalender yang dikelilingi jejak pena berwarna merah telah berlalu

¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.

       SALAH satu angka dalam kalender yang dikelilingi jejak pena berwarna merah telah berlalu. Lantas ia menghitung mundur; dengan jemari, lantunan melodi, detak jantung arloji, hingga kesadaran dihantui elegi. Momen yang tak kunjung datang pun sempat mengantarkan keputusasaan. Namun, ukiran kekecewaan di wajah sirna sudah begitu seorang wanita memangkas penantian melalui sepucuk surat di tangan.

       Maka dengan terburu-buru ia kelupas perekat bibir surat demi membaca berbaris-baris kata yang menyebabkan ia bersetelan jas pagi ini. Di hadapan cermin, sudah ia rapikan rambut sebanyak tiga kali sembari mengabsen isi beberapa buku yang sudah dipelajari. Hingga pria paruh baya tampak di antara celah pintu, kesadaran sedang berkelana merangkai kalkulasi.

       Tak ada pertemuan antara punggung telunjuk dan wajah pintu ketika bunyi sreet menyebabkan pria itu menyelinap di sisa halaman cermin. Netra Richard tak berdetak. Atensi bahkan nyaris tak bergeser dari sepasang kerah kemeja di balik jas dia. Sementara pria di sampingnya—yang memerhatikan sang putra dari indra cermin tanpa memutar leher—tampak tak bahagia.

       Alasan di balik air muka itu tak harus dipertanyakan, sebab pasca embusan napas yang menerpa bahu kiri Richard, ia berkata, "Kau tahu aku sudah menanti momen kelulusanmu agar kau bisa segera bergabung dengan Angkatan Laut—" Richard hampir merotasikan netra—sebab ia pikir mengumpat terlalu kasar—beruntung aksi itu digantikan dengan tertutupnya sepasang kelopak, "—karena kau tak ingin melakukan apa yang Adam lakukan, bukan begitu?"

       Namun, untuk kalimat yang satu itu, ia tak bisa mengawasi gerak bibir Archibald dari indra cermin. Itu membuat lehernya terputar dan ode yang disenandungkan dalam hati senyap sudah.

       "Jika Adam melakukan yang terbaik, kau bisa melakukan yang lebih baik, bukan? Sebab kau ingin mendapatkan pengakuan dariku dan menutupi semua sisi pemberontakmu yang memalukan—yang akan membuat orang-orang di luar sana berpikir kau tak cukup berpendidikan untuk menjadi seorang Wistletone. Apa kau pikir dengan pergi ke Bletchley akan membuatmu lebih baik darinya?"

       Gelengan Richard tampakkan. "Tentu tidak, tapi aku tak akan menghabiskan sisa hidupku untuk kompetisi lagi karena hidup bukan hanya soal menang atau kalah melainkan pengalaman dan hal-hal yang membuatku senang. Namun, Ayah, apa artinya menjadi seorang Wistletone? Jika Wistletone adalah sebuah kesempurnaan, maka Ayah tak cukup berpendidikan—" air muka Archibald digelitik angkara, "—untuk menjadi seorang Wistletone sebab kau tak tahu soal kebajikan. Mungkin aku selalu kalah dalam kompetisiku sendiri melawan Adam, tapi aku menang dalam kehidupan karena aku memilih kebebasan. Bahkan jika aku gagal sekalipun, aku memenangkan pengalaman. Kesimpulannya, hidup bukan soal menang atau kalah sebab kita selalu menang dengan cara kita sendiri—"

The Theory of MetanoiaDonde viven las historias. Descúbrelo ahora