Perpisahan

8.8K 1K 211
                                    

Kecupan lembut terasa di keningku. Kak Arkhan kah yang melakukan hal itu? Ingin sekali aku membuka mataku untuk melihatnya namun hal itu sulit sekali untuk kulakukan karena rasa kantuk yang telah menguasai seluruh tubuhku.

***

"Jasmine." Sapuan lembut di kepalaku membangunkanku dari tidur lelapku.

"Bunda." Aku sedikit terkejut saat melihat keberadaan Bunda di kamarku dan ternyata bukan cuma Bunda tapi Ayah pun ada. Aku bergegas bangun dari posisi tidurku dan mencium punggung tangan Ayah dan Bunda sambil meminta maaf karena tak bisa menemui Ayah dan Bunda di rumah mereka, "Maafin Jasmine nggak bisa ke rumah Ayah dan Bunda. Tadi saat hendak pergi tiba-tiba...." aku menggantungkan kalimatku saat teringat kalau aku belum memberitahukan kehamilanku kepada Ayah dan Bunda.

"Tidak apa-apa." Ayah berucap lembut. Ia membelai pucuk kepalaku. "Arkhan sudah menjelaskan semuanya."

"Semuanya..." ujarku lirih. Apakah Kak Arkhan pun sudah memberitahukan kehamilanku kepada Ayah dan Bunda?

Bunda membawa tanganku ke dalam genggamannya yang terasa begitu hangat. Senyuman sendu menghiasi wajahnya yang selalu terlihat cantik meskipun tak pernah tersapu make up sedikitpun dan umur tak memakan kecantikan alaminya.

"Maafin Bunda..." Bunda berucap lirih. Genggaman tangannya semakin terasa erat. "Bunda telah gagal mendidik Arkhan." Perlahan linang air mata membasahi pipi Bunda.

Tak ada satupun kata penghiburan yang lolos dari bibirku, lidahku terasa kelu.

"Bukan salahmu. Arkhan sudah besar. Ia sudah dapat membedakan dengan jelas mana yang baik dan mana yang tidak baik dalam menjalani kehidupan ini." Ayah memegang bahu Bunda yang bergetar.

"Kurangkah ilmu agama yang dulu kita ajarkan padanya?" Bunda masih menyalahkan dirinya atas apa yang telah Kak Arkhan lakukan padaku.

"Bunda." Aku bersyukur saat lidahku sudah mulai mampu kukendalikan. "Aku baik-baik saja. Maaf aku tak menceritakan ini semua pada Bunda."

Bunda menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya secara perlahan. Wajahnya terlihat begitu tertekan. "Jujur Bunda sedikit kecewa kenapa kamu tak memberitahukan kabar bahagia ini kepada Bunda dan Ayah."

Aku menunduk. Kabar bahagia yang berselimut duka. Haruskah itu dikabarkan pada orang-orang yang kita cintai dan sayangi?

"Maaf Bunda." Hanya kata itu yang mampu terucap.

Tak lama Kak Arkhan masuk ke dalam kamar. Kemarahan pada Kak Arkhan terlihat jelas dari wajah Ayah dan Bunda.

Tak ada yang berucap. Suasana terasa begitu dingin. Apa yang sekarang harus kulakukan? Aku tak ingin hubungan Kak Arkhan dengan Ayah dan Bunda retak.

Kutelan salivaku untuk membasahi tenggorokkanku yang terasa kering. "Ayah Bunda." Ucapku, memecahkan keheningan yang terangkai tak menyenangkan. "Ini keputusan Jasmine, Jasmine harap Ayah dan Bunda menerimanya."

"Keputusan apa?" Pertanyaan itu terlontar dari Ayah.

Aku menarik nafas dalam-dalam sebelum akhirnya kuucapkan kalimat yang pada nyatanya sangat tak ingin kuucapkan. "Jasmine ingin mengakhiri pernikahan dengan Kak Arkhan."

"Apa?" Ayah dan Bunda berucap bersamaan. Wajah keduanya terkejut.

Aku menunduk. Tak berani untuk menatap wajah Ayah dan Bunda lebih lama lagi. Keduanya pasti sangat kecewa padaku.

"Aku tak akan menceraikanmu." Perkataan Kak Arkhan membuatku sangat terkejut. Bukan cuman aku Ayah dan bunda pun terkejut.

Dia tak akan menceraikanku. Bukannya hal itulah yang dia inginkan?

Kumandang adzan zuhur terdengar saat aku ingin melontarkan banyak pertanyaan pada Kak Arkhan.

"Arkhan ikut ayah ke masjid!" Perintah ayah dengan tegas.

Kak Arkhan menurut. Ia mengikuti langkah ayah menuju masjid.

***

"Apa kamu benar-benar ingin berpisah dari Arkhan?" Pertanyaan itu Bunda ajukan saat kami telah melaksanakan salat zuhur.

"Iya," aku menjawab dengan suara yang pelan.

Bunda membawa tanganku ke dalam genggaman tangannya yang selalu terasa hangat. Aku menundukkan kepalaku, tak berani menatap mata Bunda.

"Beri Arkhan kesempatan untuk memperbaiki segalanya." Suara Bunda terdengar bergetar.

"Semuanya akan baik bila diakhiri. Kak Arkhan tidak mencintai Jasmine, Jasmine kira hal itu tak akan menjadi masalah besar dalam sebuah pernikahan namun ternyata Jasmine salah. Cinta sangatlah penting dan perasaan itu tak bisa dipaksakan." Keputusanku sudah bulat. Aku ingin mengakhiri pernikahan ini. "Maafkan Jasmine Bunda."

Perlahan pintu kamar terbuka. Ayah dan Kak Arkhan menghampiri aku dan Bunda. Ayah memeluk Bunda yang tengah menangis. Kata maaf kembali terucap dari bibirku.

Ayah tersenyum. "Ayah menerima keputusanmu."

Mendengar ucapan Ayah tangis Bunda semakin terdengar menyedihkan. Sebisa mungkin aku berusaha untuk tetap tegar, menyembunyikan duka yang kini menyelimuti hatiku.

"Terimakasih Ayah." Ucapku lirih. Kutundukkan wajahku saat setetes air mata lolos dari pelupuk mataku.

Bunda dan Ayah pun memutuskan keluar dari kamar. Memberi waktu padaku dan Kak Arkhan untuk bicara empat mata.

"Hal inikan yang Kak Arkhan inginkan?"

Kak Arkhan tidak menimpali ucapanku, ia malah lebih memilih untuk berdiri di depan jendela kamarku.

"Detik ini juga aku minta Kak Arkhan ceraikan aku." Kekesalan mulai meliputi hatiku. Andai tak ada Bunda dan Ayah ingin rasanya aku berteriak kepadanya.

"Aku tidak akan menceraikanmu."

Nafasku memburu. "Kenapa? Bukannya hal ini yang Kak Arkhan inginkan?"

Kak Arkhan membalikkan badannya. Matanya menatapku dengan pandangan yang tak mampu kuselami. "Pernikahan ini tidak akan pernah berakhir."

"Aku yang akan mengakhirinya." Ucapku cepat. "Aku yang akan menggugat Kak Arkhan ke pengadilan."

Kak Arkhan menghampiriku. Ia berdiri tepat di depanku. "Beri aku kesempatan untuk memperbaiki semuanya." Tubuhku seketika membeku saat Kak Arkhan membawa tanganku ke dalam genggamannya. "Aku akan berusaha untuk dapat menjadi suami dan ayah yang baik untukmu dan anak kita."

Perlahan aku melepaskan tangan Kak Arkhan. Aku tak ingin kembali terlena dengan sebuah harapan yang semu.

"Ceraikan aku." Ucapku sambil berlalu dari hadapannya.

T B C

29 Safar 1444H










Senja Bersama Arkhana | ENDWhere stories live. Discover now