Buah Hati

5.3K 1K 183
                                    

Sebuah pernikahan adalah ibadah terlama bagi seorang muslim, tapi masihkah pernikahan itu tetap bernilai ibadah saat salah satu tokoh utama dalam pernikahan tersebut tak memenuhi hak-haknya?

Aku memandang pantulan diriku di cermin. Wajah pucat dan rambut berantakan yang menjadi perhatian retina mataku.

Kemana perginya Jasmine yang dulu? Yang wajahnya selalu terlihat fresh karena terhias make up, rambut yang selalu tertata rapi dan pakaian yang selalu modis. Semuanya telah menghilang dikarenakan sosok Arkhan. Seorang suami yang tak suka istrinya bersolek. Seorang suami yang lebih suka istrinya memakai kerudung, dan seorang suami yang lebih suka istrinya menggunakan pakaian yang tertutup. Semuanya telah aku lakukan untuknya, namun apa yang kudapatkan. Tidak ada.

Perlahan aku mulai memulas wajahku dengan make up yang tersimpan rapi di dalam laci lemari. Kusisir rambut panjangku dan kuganti gamisku dengan dres selutut berwarna putih. Kuraih tas putihku dan kusampirkan di bahuku.

Saat aku membuka pintu kamar Kak Arkhan tengah membaca buku di sofa ia menatapku dengan pandangan terkejut, namun aku mengabaikan. Aku melanjutkan langkahku menuju pintu utama.

"Kamu mau kemana?" Akhirnya ia bersuara setelah hampir selama satu bulan ia mendiamkanku. Ya, selama satu bulan dia benar-benar mendiamkanku baik itu di rumah maupun di rumah sakit. Ia seakan-akan menganggap diriku tak ada di sekitarnya.

"Ke rumah sakit." Jawabku sambil mengenakan sepatuku.

"Kenapa memakai pakaian seperti itu?" Nada suaranya terdengar dingin.

"Kenapa memang kalau aku memakai pakaian seperti ini?"

Kak Arkhan meraih tanganku. Ia mencengkramnya dengan sangat kencang.

"Cepat ganti pakaianmu!"

"Nggak mau. Lepasin tangan aku!" Seruku sambil berusaha melepaskan tangannya yang mencengkram erat tanganku.

"Cepat ganti."

"Nggak mau."

"JASMINE!" Teriak Kak Arkhan sambil mengarahkan tangan kanannya ke arah pipiku.

"Kakak mau nampar aku. Silahkan tampar!" Ucapku sinis. Namun Kak Arkhan tidak melakukan itu, ia malah mengunci pintu.

"Buka pintunya. Aku harus kerja." Aku hendak mengambil kunci tersebut dari
tangannya namun ia malah melempar kunci itu.

"Aku tidak mengijinkanmu pergi kerja."

"Kakak nggak punya hak untuk itu." Aku menatap tajam mata Kak Arkhan yang terlihat memerah karena marah.

"Aku suamimu jadi aku berhak untuk melarangmu."

"Suami?" Aku tertawa sumbang. "Suami yang mendiamkan istrinya selama satu bulan setelah menidurinya. Itukah yang disebut dengan suami?" Ucapku sarkas.

Kedua tangan Kak Arkhan terkepal kuat. Aku yakin andai kata aku adalah seorang laki-laki ia pasti sudah memukulku.

"Cepat buka pintunya. Aku mau kerja!"

Kak Arkhan tak berucap, ia malah menarikku menuju kamar. Ia banting pintu kamar dengan sangat kencang sehingga menimbulkan bunyi berdebam yang keras.

"Pakai ini." Kak Arkhan melemparkan sebuah gamis ke arahku.

"Nggak mau." Tolakku tegas.

Kak Arkhan kembali mencengkram tanganku. "Kamu telah menghancurkan duniaku dan sekarang kamupun berniat untuk menghancurkan akhiratku."

Kemarahan yang meliputi hatiku seketika padam tergantikan oleh rasa sedih.

Dunianya telah kuhancurkan dan kini aku pun berniat untuk menghancurkan akhiratnya. Sejahat itukah diriku?

Perlahan aku meraih gamis yang tadi Kak Arkhan lempar ke depanku. Dengan tangan yang gemetar aku pun mengenakannya.

"Aku mau pergi kerja dulu." Ucapku sebelum berlalu dari hadapannya.

Di dalam taksi yang ku naiki tangisku pecah.

Aku telah menghancurkan dunianya dan aku pun hendak menghancurkan akhiratnya.

Dua kalimat itu terus berputar di kepalaku.

"Mbak sudah sampai." Ucap sopir taksi yang kutampangi.

Aku menyeka air mata yang berhasil membanjiri pipiku. "Antar saya ke alamat ini pak." Kutunjukkan layar ponselku ke arah sopir taksi tersebut. Ia menurut dan langsung kembali melajukan mobilnya. Hanya butuh waktu kurang dari tiga puluh menit aku telah sampai ke tempat yang kutuju, sebuah pemakaman umum, namun sebelum memasuki area makam aku singgah dulu di  penjual bunga.

"Mau bunga apa Neng?"

"Bunga lily."

Si penjual bunga mengangguk. Ia pun merangkai beberapa tangkai bunga lily setelah itu memberikan bunga itu padaku. "Lima puluh ribu mbak."

Kuserahkan uang lima puluh ribu padanya.

Perlahan aku mulai melangkahkan kakiku memasuki pemakaman dan langkah kakiku berhenti tepat di depan makam kedua orangtuaku.

"Ma Pa..." ucapku dengan suara lirih kuletakan bunga lily di atas makam mama dan papa. "Maaf Jasmine baru datang sekarang." Kepalaku menunduk dalam. "Tadinya Jasmine berencana untuk datang kemari bersama Kak Arkhan... namun ternyata tidak bisa. Kak Arkhan sangat sibuk." Sebisa mungkin aku berusaha untuk tidak menangis namun ternyata aku tak mampu untuk menahannya. "Sepertinya Jasmine akan menyerah... Jasmine telah menghancurkan dunianya....dan Jasmine tak ingin menghancurkan pula akhiratnya... Mama dan Papa tidak usah khawatir...Jasmine akan baik-baik saja karena Jasmine kini tidak sendiri." Perlahan aku menyentuh permukaan perutku. "Jasmime akan menjadi seorang ibu... semoga Jasmine bisa menjadi ibu yang baik seperti Mama...dan... semoga Jasmine pun bisa menjadi sosok Papa yang baik seperti Papa."

Kak Arkhan tak mengingkan kehadirannya maka aku pun harus mampu menjadi ibu sekaligus ayah untuk buah hatiku...ya buah hatiku karena kelak hanya akulah yang akan membesarkannya, menyanyanginya dan mencintainya.

***

Saat senja kembali keperaduannya aku memutuskan untuk pulang. Pulang ke rumah orangtuaku bukan pulang ke rumah Kak Arkhan karena pada kenyataannya rumah itu bukanlah dibangun untuk tempatku tinggal tapi untuk seseorang yang ia cintai sedangkan aku tidak. Dan sepertinya tidak akan pernah dapat ia cintai.

Keadaan rumah masih sama seperti dulu. Tidak ada yang berubah. Meskipun tidak ditempati rumah ini tetap dibersihkan tiga hari sekali oleh asisten rumah tangga yang memang sengaja dipekerjakan oleh tanteku kalau tidak salah namanya Bi Acih.

Aku menghela nafas lega saat melihat kulkas yang sudah terisi penuh dengan berbagai makanan dan minuman. Aku memang sudah merencanakan untuk kembali tinggal disini oleh karena itu dengan sengaja aku meminta Bi Acih untuk mengisi kulkas dengan berbagai macam makanan dan minuman.

Jujur awalnya aku masih berharap. Berharap agar semuanya bisa menjadi lebih baik dari sebelumnya. Berharap kalau hati kak Arkhan yang sekeras batu akan melembut, namun ternyata tidak. Meski kata berpisah telah terucap dari bibirku namun nyatanya hatiku tak menginginkan hal itu terjadi apalagi setelah aku tahu kalau kini ada janin yang tumbuh di rahimku.

Saat aku tahu diriku hamil aku langsung memberitahunya, berharap ia akan merasa bahagia sebagaimana rasa bahagia yang aku rasakan saat aku tahu kalau diriku tengah hamil, namun ternyata tidak. Saat aku memberitahukan kehamilanku padanya ia tidak memberikan respon apapun. Ia tetap mendiamkanku. Dan karena hal itu pula yang pada akhirnya membuatku melakukan hal yang berhasil membuatnya kembali mengeluarkan suara. Suara kebenciannya terhadap diriku karena baginya aku telah menghancurkan dunianya.

***

26 Muharram 1444H

Senja Bersama Arkhana | ENDWhere stories live. Discover now