Dua Belas

661 84 12
                                    

Jimin mengetuk pintu kamar Taehyung dan membukanya setelah dipersilakan empunya.

"Hei, sedang apa?"

"Tidak ada," jawab Taehyung lalu menutup laptop dan memutar kursi ke arah Jimin.

"Tae, apa kau tidak suka aku ada di sini? Kalau begitu, aku bisa bicara pada Halmeoni."

"Tidak perlu. Aku sudah biasa tidak dimintai pendapat untuk apapun dan diharuskan mengikuti semuanya. Tidak ada bedanya kali ini."

Jawaban Taehyung membuat Jimin tersentak. Ia meremat tepian kemejanya.

"Tae, apa...kau tidak ingin meneruskan pertunangan kita?" tanya Jimin meskipun ia sudah yakin jawaban seperti apa yang akan Taehyung sampaikan.

"Hyung, kau orang yang baik dan seru diajak mengobrol atau melakukan kegiatan lain. Tapi, aku menyukai orang lain, bukan Hyung. Kalau ini dipaksakan, kita berdua akan sama-sama berada di neraka dan mungkin berakhir dengan membenci satu sama lain. Apa ini yang Hyung harapkan?"

Jimin diam. Ia ingin mengungkapkan pendapatnya yang tak jauh berbeda dengan Taehyung. Namun, sejak kecil ia dididik untuk menuruti semua keinginan dan perintah orang tuanya. Seberapa keras pun usahanya menolak, ia tak bisa lepas dari kewajibannya itu.

"Tidak. Tapi aku tidak bisa melepasmu. Aku tidak mau, Tae. Aku mencintaimu."

Taehyung menatap Jimin dalam diam.

"Kalau Hyung memang mencintaiku, Hyung tidak mungkin membuka pintu lebar-lebar untuk Jungkook."

---

Yoongi tiba di sekolah dengan perasaan tak enak. Ia merasa banyak mata mengawasi gerak-geriknya dan beberapa orang berbisik-bisik jika ia melewati mereka. Hal serupa pun dapat ia rasakan di ruang kelasnya. Tatapan mata teman sekelasnya tidak seperti biasa, beberapa orang bahkan terang-terangan menunjukkan tatapan benci dan membuang muka setiap kali Yoongi mencoba berbicara dengan mereka.

"Hai!" sapa Yeji, ramah seperti biasa.

"Hai, Noona."

"Kau kenapa?"

"Tidak tahu. Sejak aku tiba, rasanya orang-orang membicarakanku dan membenciku."

"Biarkan saja. Ayo temani aku membeli minuman. Aku sedang ingin jus." Yeji menarik pergelangan tangan Yoongi lalu mengaitkan lengan mereka. "Kau mau sesuatu?" tanya Yeji ketika mereka berdiri di depan mesin penjual otomatis.

"Tidak ada. Aku sudah sarapan."

"Oke." Yeji menekan tombol jus apel dan mengambil jus kalengan yang keluar di bagian bawah. "PR Matematika sudah selesai?"

"Aljabar? Sudah."

"Aku harus begadang untuk menyelesaikannya. Capek sekali. Kenapa kita harus belajar sesuatu yang tidak akan dipakai setelah lulus? Aku ingin menjadi perancang gaun pengantin, tidak akan menggunakan aljabar dalam mengukur dan menjahit gaun."

Yoongi tergelak.

"Benar."

"Kau mau jadi apa?"

"Hmm....sejujurnya aku belum benar-benar tahu. Aku ingin lulus terus kuliah tanpa merepotkan orang tua. Itu saja. Seandainya nanti aku hanya bekerja sebagai pegawai biasa atau meneruskan rumah makan orang tua, tidak masalah."

Yeji mengangguk.

"Apa kau sering merasa kecil hati setelah bersekolah di sini? Kau tahu kan rata-rata siswa di sini berasal dari keluarga seperti apa."

"Bukan 'rata-rata' tapi 'semua' kecuali aku. Aku sempat berkecil hati karena aku terlihat sangat biasa dibandingkan yang lain. Tapi, aku pindah ke sini untuk belajar jadi aku coba melupakan hal itu."

F4Where stories live. Discover now