AIW | 29

1.2K 153 11
                                    

Tandai bagian yang typo

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Tandai bagian yang typo ....

Prilly kembali menelan kecewa mendapati kenyataan yang seolah berusaha menghancurkannya secara perlahan. Ketika dia telah bersedia bertemu dengan Mamanya, kenyataan menghancurkannya. Pihak rumah sakit beberapa saat lalu memberi kabar jika Mamanya menghembuskan nafas terakhirnya setelah beberapa kali melakukan percobaan bunuh diri.

Sebelumnya pihak rumah sakit berhasil menyelamatkan Mamanya yang hendak melakukan bunuh diri dengan lompat dari lantai dua dimana ruangan Mamanya berada. Namun, pada akhirnya pihak rumah sakit lengah. Mamanya berhasil bunuh diri tengah malam dengan menyayat urat nadinya dengan kaca yang berhasil Mamanya pecahkan.

Dia menangis sewajarnya. Mencoba ikhlas meski menyakitkan. Dia melepaskan Mamanya, mungkin ini yang Mamanya mau, meninggalkan semua yang ada di sini. Meski yang Mamanya lakukan salah, namun dia berharap Mamanya bisa tenang di dunia barunya.

Tubuh tak bernyawa Mamanya kini berada di hadapannya. Kedua matanya terpejam erat dengan wajah pucatnya yang mampu membuat Prilly tidak bisa mengalihkan pandangan dari Mamanya. Tangis yang semula mereda kembali pecah ketika kain putih menutupi wajah Mamanya dan menjadi terakhir kalinya dia melihat sang Mama.

Dalam tangisnya, dia tersenyum melihat mayat sang Mama diangkat ke dalam ambulan untuk dipulangkan ke kediaman Erwin. Dia tersenyum bukan karena senang Mamanya pergi, dia senyum karena Mamanya telah menentukan jalannya sendiri. Jalan yang Mamanya pilih adalah perpisahan dan yang dia lakukan adalah menerima agar kepergian Mamanya tidak menjadi beban.

Tubuhnya nyaris limbung karena terlalu lemas dan Ali dengan sigap menahannya. Lelaki itu sedari tadi berada di sampingnya, memeluknya dengan erat dan menenangkannya meski itu tak mampu membuatnya tenang. Dia menatap kedua adiknya, Erwin dan Melia. Suatu keajiban karena Melia tidak histeris. Adik bungsunya itu hanya menangis sewajarnya dan membalas pelukan Erwin seolah mengatakan jika Melia baik-baik saja. Adik bungsunya telah sembuh, tidak histeris bila melihat Mamanya.

Dengan dipapah Ali, dia memasuki mobil dan mengikuti ambulan yang membawa jenazah Mamanya menuju rumah Erwin. Selama perjalanan dia memilih diam menatap jalanan dengan pikiran berkelana. Air matanya mengering dan isakannya mereda. Pada akhirnya dia tidak merasakan kasih sayang seorang Ibu. Pelukan yang dia harapkan tidak bisa dia dapatkan. Mamanya pergi tanpa memberi salam perpisahan terbaik untuk dia kenang. Sekarang dia mengerti jika Mamanya tidak sejahat itu. Keadaan yang merubah Mamanya menjadi sosok kejam di mata anaknya.

Setidaknya dari Mamanya dia belajar jika jahat bukan pilihan namun tidak ada pilihan lain selain jahat. Kehancuran karena cinta ternyata sangat luar biasa dan bukan hanya Mamanya yang hancur, anak-anaknya juga merasakan hal yang sama.

"Sudah sampai."

Prilly menatap Ali yang membukakan pintu mobil untuknya. Tangan lelaki itu terulur ke arahnya yang perlahan tapi pasti dia menerima uluran tangan itu. Tersenyum tipis, dia memeluk Ali.

Am I Wrong?Where stories live. Discover now