AIW | 14

1.6K 195 19
                                    

Tandai bagian yang typo

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Tandai bagian yang typo ....

Ali nyaris terbuai pada tatapan sendu dan nada lirih Prilly. Nyaris saja pertahanannya runtuh melihat Prilly yang terlihat menyedihkan. Namun, dia menggeleng keras, tidak akan terbuai. Meski dia tahu jika semuanya bukan salah Prilly sepenuhnya. Hanya saja, Prilly yang membuat masalah semakin panjang dengan menimbulkan kesalah pahaman, bertindak sesuka hati dan membuat semuanya yang seharusnya terlihat mudah menjadi runyam.

Mama Prilly memang salah, namun kesalahan itu tidak sebanding dengan kesalahan Prilly. Menganggap pilihannya paling benar demi sang Mama. Prilly memikirkan kebahagiaan Mamanya namun mengabaikan kebahagiaan sendiri. Memikirkan kebahagian Ibu yang hanya melahirkan dan sama sekali tidak memikirkan Prilly.

Ali kecewa, marah namun dia tidak ingin menjadi lebih pengejut lagi.

"Lebih baik kamu kembali ke ruanganmu. Sepertinya, lain waktu kita berbicara empat mata dengan kepala dingin. Sekarang bukan waktu yang tepat."

Ali mengulurkan satu tangannya di depan Prilly, bermaksud membantu perempuan itu berdiri. Alasannya menyuruh Prilly kembali ke ruang inapnya setelah dia tarik paksa adalah, dia tidak fokus melihat punggung tangan Prilly berdarah karena infusnya yang terlepas. Dia tidak mau ambil resiko Prilly infeksi atau hal buruk lainnya. Menurunkan ego, dia menunda keinginannya untuk menyelesaikan semua demi kemanusiaan. Ya, demi kemanusiaan. Prilly sedang lemah dan bukan waktunya untuk dia intimidasi. Jika dia menuruti egonya, sama saja dia seperti Prilly, tidak berperasaan. Setidaknya itulah sudut pandangnya mengenai Prilly atas semua yang terjadi.

Ali pikir, Prilly menerima uluran tangannya. Nyatanya, Prilly menarik tangannya hingga nyaris hilang keseimbangan andai satu tangannya yang bebas tidak bertumpu pada dinding. Dia menggeram atas perlakuan Prilly, namun geraman itu dia simpan ketika kedua tangan Prilly memeluknya dengan erat. Dia ingin melepas pelukan Prilly, namun Prilly semakin mempererat pelukannya membuatnya diam, kembali menurunkan egonya atas dasar kasihan. Mungkin untuk saat ini Prilly butuh seseorang untuk menjadi tempat bersandar. Melupakan pertahanannya untuk menjaga jarak karena mereka telah menjadi asing.

"Aku memang salah dan kamu tahu alasan aku seperti ini. Ali, aku---"

"Kamu memang bersalah, entah sepenuhnya salah kamu atau tidak. Kamu tetap turut andil dalam kesalahan ini."

"Maaf."

"Sudah ditebak kemana ujungnya pembahasan ini. Sebenarnya aku ingin membahas ini besok, disaat kita sama-sama dalam kondisi pikiran yang jernih. Tapi, melihat kamu yang tidak ingin mengulur waktu membuatku melupakan belas kasihanku."

Ali melepas pelukan Prilly. Meski susah, namun perlahan pelukan itu terlepas dan dia melihat air mata Prilly mengalir dengan deras. Mendengus, dia meraih tisu di nakas dekat brankarnya dan memberinya pada Prilly. Awalnya Prilly tidak menerima tisu yang dia berikan, setelah dipaksa, perempuan itu menerima dan menghapus sendiri air matanya tanpa menatapnya.

Am I Wrong?Where stories live. Discover now