AIW | 12

1.7K 189 34
                                    

"Masih hidup ternyata."

Ali yang baru sadarkan diri sontak menoleh ke sumber suara dan mendapati Erwin duduk dengan angkuh di sofa tak jauh dari tempatnya terbaring tak berdaya. Mendecih, Ali memilih mengabaikan desisan tajam Erwin dan menatap sekitar. Dia berada di rumah sakit. Ingatannya jatuh pada kejadian sebelum dirinya tidak sadarkan diri yang menjadi pemicu utama kenapa dirinya berakhir di ranjang rumah sakit ini dengan pakaian yang sama sekali tidak ingin dia kenakan, pakaian pasien.

"Setelah apa yang terjadi, apa kamu tidak ada niatan meminta maaf pada Prilly?"

Atensi Ali beralih pada Erwin yang entah sejak kapan berdiri di dekatnya. Tatapan tajam Erwin membuatnya tertawa pelan sebelum akhirnya meringis saat merasakan nyeri di ujung bibirnya. Sial, bahkan kini wajahnya saja nyeri dan itu sangat membatasi setiap pergerakannya, membuatnya harus diam, jika ingin bicara harus pelan.

"Apa salahku? Kenapa harus meminta maaf pada dia?" Rasanya Ali ingin berteriak, meluapkan emosinya. Namun kondisinya yang lemah begini tidak mendukungnya untuk tidak terlihat menyedihkan di hadapan pengkhianat seperti Erwin.

Erwin menghela nafas panjangnya sebelum akhirnya berdecih, menatap Ali dengan tatapan benci dan muak tak terelakkan.

"Ternyata kamu sebrengsek ini. Pantas saja Prilly memilih berpisah dan memutus segala sesuatu yang berhubungan denganmu."

Ali menggeram tertahan. Hendak menghajar Erwin, namun yang terjadi adalah, dia meringis ketika sekujur tubuhnya merasakan sakit. Dia benci kondisinya yang tidak berdaya seperti ini!

"Mau menghajarku, hm? Ayo, sini hajar aku sesukamu. Aku tidak akan melawan," Erwin duduk dengan angkuh di kursi dekat brankar yang Ali tempati dengan senyum mengejek melihat kondisi mengenaskan Ali.

"Lucu, setelah merusak rumah tangga sahabat sendiri, malah berlagak orang paling suci. Erwin, aku tidak menyangka ternyata kamu tidak tahu malu. Sudah tahu salah, malah membalikkan fakta seolah aku paling bersalah. Waw! Permainan yang sangat menarik untuk pengecut sepertimu," sadar dirinya tidak bisa melayangkan pukulan pada wajah Erwin untuk menyalurkan amarahnya, Ali justru menyerang Erwin melalui kalimat pedasnya. Jika Erwin tidak tersinggung sama sekali, itu tandanya Erwin seburuk itu sebagai seorang manusia. Sahabat? Ali menyesal telah menganggap Erwin sahabatnya. Orang paling dia percayai melebihi kepercayaannya pada sang Papa.

"Sebenarnya yang pengecut siapa? Aku atau kamu, Ali? Tidak mengakui darah daging sendiri, itu lebih dari pengecut!"

Ali menggeram, menahan amarah dan mencoba tenang karena sadar jika tubuhnya sedang lemah.

"Pengecut teriak pengecut, eh? Jangan melempar kesalahan padaku yang seharusnya salahmu. Jangan hanya ambil enaknya, setelah wanitamu hamil, kamu melemparnya kepada orang yang sudah kalian khianati."

"Kurang ajar!"

"APA? Ayo, hajar aku selagi aku tidak berdaya, tidak memiliki kekuatan untuk balas menghajarmu. Jalankan permainan busukmu seolah kamu paling suci."

Erwin menahan pergerakannya yang siap melayangkan pukulan di wajah Ali. Kerah baju Ali dia tarik, menatap Ali dengan tatapan membunuh.

"Kamu bodoh! Sangat bodoh! Bagaimana bisa lelaki sepertimu sebodoh ini. Aku rasa pilihan Prilly untuk pisah darimu sudah benar. Kamu hanya menilai sesuatu dari apa yang kami lihat tanpa cari tahu. Kamu menganggap sesuatu yang kamu lihat sudah benar, tanpa tahu seperti apa kebenarannya. Jangan berlagak jika kamu yang paling tersakiti di sini! Jauh dari itu semua, Prilly yang lebih tersakiti. Segalanya yang dia miliki direnggut paksa dengan cara menyakitkan. Ibunya yang dia nantikan kedatangannya justru menyakitinya tanpa perasaan. Yang harus kamu tahu, Prilly tidak setega itu menggugurkan kandungannya. Prilly tidak akan nekat menggugurkan kandungannya andai Mama barumu itu tidak mendatanginya untuk menjauh darimu!"

Am I Wrong?Where stories live. Discover now