"Apa?" Bintang terkejut.

"Kebetulan, ya? Gue mau nuduh lo sengaja pakai nama Bintang, tapi lo duluan yang ngenalin diri dan nggak mungkin tahu nama Hari yang lo denger dari anak-anak cowok tadi itu dari kata Matahari."

"Aku nggak peduli, sih."

Baskara mendelik, kemudian tersenyum tipis. "Matahari itu bukan nama gue yang ada di semua kartu identitas."

Bintang melirik Baskara. Dia jadi lebih tertarik mendengarkan karena merasakan sebuah kesamaan pada dirinya dengan cowok itu. "Kenapa?"

"Penasaran?"

Bintang mengangguk antusias.

"Karena nama Matahari itu dari Papa."

Bintang mundur untuk menjauh. Tidak. Mereka tidak sama. Bintang membuang nama aslinya karena nama aslinya itu adalah pemberian dari papanya.

"Sebenarnya, nama asliku bukan Bintang...."

"Tapi?" Baskara menatapnya sambil menaikkan alis.

"Nggak tahu, nggak mau inget. Inisial N." Bintang mendekat lagi untuk mengalihkan pembahasan. "Oke, seperti yang aku bilang tadi. Kalau gitu aku duluan yang jujur soal aktivitas kemarin. Aku jawab, ya? Aku nggak ingat sama sekali apa yang terjadi kemarin. Aku nggak tahu gimana tiba-tiba bangun di dalam kamar itu. Harusnya aku sebelumnya tidur di halte bus atau di mana, ya? Beneran! Aku lupa! Aku jujur dan nggak mau nutupin lagi. Iya, aku gembel."

"Oh, jadi anak jalanan? Sekarang gue paham kenapa lo bisa masuk. Untuk ukuran anak jalan, lo itu jago menyusup juga, ya."

"ENGGAK!" teriak Bintang dengan wajah jutek. "Serius, Kak. Di sini yang harusnya curiga aku, kan? Kakak lagi nguji aku, ya? Aku tiba-tiba bangun di kamar orang yang nggak aku kenal. Sekarang giliran Kakak yang jelasin apa yang terjadi kemarin. Awas aja Kakak bohong."

Sudut bibir Baskara terangkat. "Oke. Simpel aja. Kemarin seharian gue bareng cowok-cowok yang lo lihat. Ingat respons mereka waktu ngelihat lo, kan?"

Bintang berpikir sejenak, lalu mengangguk.

"Nah, itu. Gue nggak perlu jelasin panjang lebar," tambah Baskara, lalu menaikkan seluruh tubuhnya ke tempat tidur dan berbaring di samping Bintang yang masih duduk dengan kedua tangan dan kaki yang tak bisa bergerak bebas.

Bintang sedikit menunduk untuk menatap Baskara. "Aku jadi tahanan di sini, kan? Katanya kalau jadi tahanan tetap dikasih makanan, tapi makanannya yang busuk?"

"Hah?" balas Baskara dengan mata terpejam. "Tenang aja. Lo tetap bisa makan di sini, tapi lo yang harus masak sekaligus buat gue."

"Aku nggak tahu cara masak," balas Bintang dengan suara pelan. "Tapi aku bisa belajar dengan cepat!" lanjutnya menggebu-gebu.

Baskara bangun. Dia mengambil sebuah kunci borgol dari saku celananya, lalu membuka kunci borgol di tangan Bintang. Mata Bintang sudah berbinar senang karena akan dibebaskan, tetapi yang terjadi selanjutnya adalah Baskara memasukkan borgol di satu tangannya.

"Apa?" Bintang hanya bisa bertanya satu kata itu sambil melihat Baskara memasukkan kembali kunci ke dalam saku celananya, lalu berbaring di samping Bintang.

Kini mereka tak bisa dipisahkan tanpa kunci itu.

"Gue mau tidur. Jangan ganggu gue."

Bintang tak membalas perkataan Baskara. Matanya terus tertuju pada saku celana cowok itu. Sebelah tangannya yang bebas bergerak mengincar kunci di dalam saku celana Baskara. Dia tahu itu akan sia-sia, tetapi tak ada salahnya mencoba.

Tiba-tiba kelopak mata Baskara terbuka dan melihat tangan Bintang berada di atas sakunya. "Lo tahu nggak akan berhasil, tapi lo pekerja keras juga, ya?"

Matahari Dan BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang