PART 3

12.6K 1.6K 59
                                    


PART 3

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

PART 3

Bintang dihimpit oleh dua siswi kelasnya di sepanjang jalan menuju kantin. Tari dan Saras. Mereka berdua sebangku dan membawa bekal dari rumah, tetapi memutuskan untuk mengantar Bintang sampai pintu kantin demi memperkenalkan sekolah yang belum diketahui Bintang sama sekali.

Hanya saja, dua cewek ini tak henti-hentinya menggosipi 5 cewek aneh tadi. Bukannya memperkenalkan sekolah yang luas ini.

"Lihat, kan? Mereka digertak sekali aja udah ketakutan. Mereka tuh awalnya anak-anak cupu tahu," kata Tari penuh semangat. "Anak-anak pada menjauh dari mereka karena bikin ribet. Mereka juga selebgram. Emang cantik-cantik sih, di medsos banyak yang suka tapi di sekolah yang suka palingan cowok-cowok. Cewek-cewek pada males berurusan sama mereka karena mereka tuh suka nyari ribut!"

Saras menambahkan. "Mereka tuh sok garang padahal aslinya pada bego kalau berhadapan sama manusia, tapi sebenarnya mereka nggak bego di pelajaran. Serius! Bahkan Rosella yang terkenal tulalit di grup mereka tuh pernah masuk 10 besar paralel dan sejak kenal geng itu jadi turun di 20 besar."

"Wahhh." Bintang jadi tertarik mendengarkan. "Terus? Terus?"

Tari sampai berjalan mundur. "Aslinya geng populer di sekolah ini tuh Hanna dkk. Geng yang asli tuh nggak pakai nama alay kayak Barbiebrblablabla. Nah, gue nih khawatir sama lo tahu! Udah jadi rahasia umum kalau Hanna tuh dari dulu tertarik sama Baskara, tapi lo tahu Baskara kayak gimana? Kayak yang gue ceritain tadi pagi! Dia bisa jadi anak ustadz, bisa jadi jijik sama cewek, bisa jadi gay! Cewek secantik Hanna aja nggak digubris sama sekali! Dan semua terpatahkan. Jawabannya cuma satu; Baskara belum nemuin tambatan hatinya dan pagi tadi dia jatuh cinta pada pandangan pertama sama lo!"

"Astaga!" seru Bintang spontan. "Selain tiga hal tadi, bisa jadi dia orang gila? Nggak pernah ada rumor gitu?"

"Hah! Justru Baskara si cowok gila itu udah melekat, tapi ya kayak 'udah cukup tahu aja' gitu. Tiga hal tadi masih rumor, tapi dia yang gila itu udah sesuatu yang pasti!" seru Tari menggebu-gebu.

Bintang punya trauma. Saat berumur 10 tahun, saat itu dia masih hidup di jalanan, dia pernah dikejar-kejar oleh orang gila sampai 1 kilometer.

Sekarang dia dikejar-kejar oleh cowok gila.

"Udah sampai. Kami balik ke kelas, ya!" Tari melambaikan tangan setelah menjauh dari Bintang. Saras melakukan hal yang sama, kemudian memberikan kiss jauh.

Bintang melambai-lambai. Dia jadi merindukan teman-teman jalanannya yang saat ini sudah menyebar dengan pilihan masing-masing.

Saat itu, Bintang tak punya pilihan lain untuk menerima tawaran Shareen sebagai keluarganya karena setelah berpisah dengan Shareen sebelumnya, Bintang akhirnya menemukan keluarga jalanan yang bisa dia percaya, yang di dalamnya hanya ada anak-anak seumuran maupun di bawahnya.

Namun, karena salah satu dari teman jalanan Bintang sakit, Bintang tak ingin kehilangan untuk yang kedua kalinya. Akhirnya dia mencari keberadaan Shareen dan memanfaatkan Shareen.

Bagaimana pun, perilakunya yang memanfaatkan Shareen adalah hal yang salah. Akan tetapi, begitu lah caranya untuk bertahan hidup dan membantu temannya yang kesulitan.

"Ugh." Bintang mengeluh melihat kantin yang ramai, kemudian dia bersyukur dengan keramaian itu kemungkinan kecil dia dan Baskara akan bertemu.

Satu-satunya yang ada di pikiran Bintang sekarang adalah makan.

***

Tiga bawahan Pandu tak pernah bicara sebelum diajak bicara oleh Baskara atau sebelum Pandu mengizinkan mereka bicara. Pandu selalu menekankan bahwa Baskara tak suka keributan kecuali keributan di kantin.

Di kantin itu, Baskara melihat tulisan Yoga di kertas tentang informasi sayembara.

"Ada yang kurang," kata Baskara dengan tatapan malas.

"Yang ... ini?" tanya Yoga.

"Itu udah bener."

"Ah, ini?"

"Bukan yang itu."

"Mana, ya...." Yoga menunjuk kata yang dia rasa kurang pas. "Ah, ini?"

Baskara kembali menjawab dengan cepat. "Bukan."

"Ini?"

"Huh." Embusan napas yang terdengar dari Baskara membuat Yoga tersentak kaget. "Ganti yang ini."

"Oh, iya. Diganti apa, ya, bagusnya."

"Menculik."

"Oh, eh apa?"

"Membawa ganti jadi menculik."

Wah, si gila ini! Apa yang dia pikirkan? Bahkan tak takut ketahuan guru? Yoga memandang Baskara dengan takjub, lalu menunduk dan keringat dingin muncul perlahan di dahinya. Dia baru saja memandang Baskara dan sama saja dia cari mati. Dia mulai memperbaiki kata yang Baskara maksud.

"Ada lagi yang kurang," kata Baskara tiba-tiba.

"Yang ini?" Yoga menunjuk kata dengan acak. Dia sudah lelah. Selain takut, terkadang Yoga memaki-maki Baskara dalam hati saat permintaan cowok itu tak jelas. Membuatnya emosi, tapi takut bersamaan.

"Ini kurang. Nanti pada nggak semangat nyuliknya."

"2 juta," gumam Yoga sembari mencoret angka 1, menggantinya dengan angka 2.

"10 juta."

Yoga dan tiga bawahan Pandu membelalak. Pandu tersenyum senang. Pilihannya untuk mengekori Baskara selama ini dan memanfaatkannya adalah pilihan yang tepat. Dia tak perlu berbuat banyak. Ada Yoga yang akan melakukan apa pun yang dia perintahkan.

Yoga sangat iri dengan persyaratan sayembara itu. Andaikan saja dia bisa ikut sayembara. Kenapa harus perempuan? Selama ini dia tidak dapat apa pun dan semua untuk Pandu demi terhindar dari perundungan fisik dan mental sekaligus.

"Gue akan kasih lo 2x lipatnya," tambah Baskara.

Yoga hanya bisa bersungut dalam hati. Berbeda dengan Pandu yang tersenyum penuh semangat.

Baskara menyandarkan punggungnya di dinding. Tatapannya yang selalu malas. Tak ada yang tahu bagaimana isi hatinya yang sebenarnya. Sekarang, satu-satunya yang jelas adalah fakta bahwa perhatian Baskara tertuju pada satu orang, yaitu Bintang.

"Dia muncul." Baskara baru saja ingin berdiri, tetapi Yoga menahan tangannya. "Apa?"

"Ja—jadi, lebih baik jangan hampiri sekarang. Dia lagi mau makan. Nanti kabur lagi. Mungkin dia laper? Cewek kalau laper kan bahaya. Siapa tuh yang bilang. Aduh lupa...." Yoga menciut karena Baskara yang berdiri menjulang di sampingnya karena dia duduk, belum lagi pandangan mata Baskara yang tepat sasaran memandangnya dari atas.

"Bener, sih." Baskara kembali duduk dan memandang ke mana arah Bintang pergi. Cewek itu duduk menyendiri dari yang lain, menikmati mie-nya yang panas.

Semakin Baskara memikirkan Bintang, semakin kepalanya sakit. Dan Baskara tak akan pernah berhenti mencari tahu penyebab hal tak masuk akal itu.

Bintang. Bintang.... Nama itu terus terngiang. Bukan lagi di pikiran Baskara, tetapi di ingatannya.

Sebuah ingatan tak jelas. Tak ada petunjuk apa pun selain kegelisahan bahwa dia dan Bintang pernah hidup bersama.

***


thanks for reading!

love,

sirhayani

Matahari Dan BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang