Mejanya rusak. Tempat tidurnya berantakan. Pintu kamarnya sudah tidak bisa menutup dengan baik.

Baskara menghentikan langkahnya setelah menyadari sesuatu dalam ingatan singkatnya. Dia berbalik menatap meja yang berada dekat dengan pintu. Dia mendekati meja itu dan menemukan sesuatu yang tak membuatnya kaget lagi, yaitu sebuah kamera kecil.

Itu bisa membantu untuk melihat bagaimana cewek itu muncul, tetapi jika kamera itu berkaitan dengan Hanna, Baskara lebih memilih untuk memusnahkannya. Baskara segera menghubungi Aska, satu-satunya orang yang dia percayai hanya karena memiliki nama yang hampir mirip dengannya.

"Hm, halo, Har?" Suara Aska begitu pelan karena setengah sadar. Dia baru terbangun dari tidurnya.

"Ada yang masang kamera tersembunyi di apart gue. Tanya temen-temen lo. Lakuin apa aja sampai mereka mau ngaku apa tujuan mereka dan siapa yang nyuruh mereka kalau ada yang nyuruh."

"Termasuk nyogok pake uang?"

Baskara berjalan kembali ke kamarnya setelah menghancurkan kamera itu dan membuangnya ke tempat sampah. "Iya, tapi habis itu hajar sampai satu giginya rontok."

***

Setelah melihat jalanan dari lantai puluhan yang dia pijaki saat ini, Bintang merasa pusing dan mundur perlahan sambil memegang kepalanya. Dia tak bisa melompat dari ketinggian yang membuatnya pusing duluan. Itu juga mustahil dia lakukan dan hanya akan membuat repot orang-orang jika dia membuat orang berpikiran apartemen itu menjadi angker karena dugaan bunuh diri.

Bintang kembali ke balkon untuk menjalankan rencana terakhir.

"TOLONG! TOLOOONG!" teriaknya sambil mengarahkan kedua tangan di samping bibir. "TOLONG SAYAAA SIAPA PUUUN!"

Bintang menyipitkan mata untuk melihat orang-orang yang lalu lalang di bawah sana. "TOLONG! HOIII! DI SINIII! HMPH!"

Bintang terangkat. Perutnya diangkat oleh seseorang yang sudah pasti adalah Baskara. Kedua kakinya mengayun di udara, memberontak hingga kakinya menghantam dinding kaca di sebelahnya dan terdengar suara hantaman yang cukup keras. Baskara berhasil membawanya kembali masuk dan tak melepaskan pelukannya di perut Bintang.

Tangannya membekap mulut Bintang sejak di balkon karena terlalu berisik, tetapi setelah itu dia melepaskannya untuk menutup pintu balkon. Sambil mengunci pintu balkon dan menarik kain penutup, cowok itu tak melepaskan tangannya dari lingkar perut Bintang yang sedikit membuncit karena tadi makan dengan rakus.

Bintang terus berusaha melepaskan tangan Baskara di perutnya. Dia hanya bisa berusaha melepas dan memukulnya, tetapi tak bisa menggigit Baskara karena posisi yang tak memungkinkan untuk melakukan itu. Usahanya untuk lepas dari Baskara tak membuahkan hasil sama seakali. Cowok itu bahkan tak bergerak sekeras apa pun Bintang mengamuk. Bintang hanya berakhir lelah sendirian.

"Lo kayak anak kecil yang lagi tantrum," kata Baskara. "Kurang nangis aja."

Bintang merapatkan bibirnya karena tak mau bicara. Dia mendapatkan pantulan Baskara lewat cermin di lemari dan bisa melihat wajah Baskara dari sana. Baskara sedang menunduk, menatap seseorang di bawahnya dengan intens yang tak lain adalah Bintang.

Bintang tak bisa melihat dirinya sendiri di sana, tetapi Bintang sudah membayangkan wajah kusam penuh debu dan belang antara kecoklatan dan kuning langsat karena sering terkena matahari.

"Pertama, gue nggak suka denger cewek berisik. Kedua, gue nggak suka diganggu saat lagi mandi. Dan lo ngelakuin dua hal itu sekaligus."

Bintang menggerakkan kedua kakinya yang tak menyentuh lantai. Sesaat kemudian Baskara membawanya ke tempat tidur dan melemparnya dengan kasar ke sana. Bintang merasakan seluruh organ dalam tubuhnya seperti saling menghantam dan membuatnya tak nyaman.

"Diem di sini." Baskara berjalan ke pintu. "Kalau lo berisik, salah satu pedang gue di ruangan yang lo masukin tadi bakalan ada ada cipratan darahnya. Ngerti?"

BRAK

Bintang tak kaget dengan ancaman cipratan darah, tetapi terkejut karena Baskara tahu dia memasuki ruang rahasia cowok itu. Entah apa yang terjadi selanjutnya. Bintang merasa yang terbaik di dunia ini adalah kebebasan.

Bintang meringkuk di atas tempat tidur dan matanya terpejam hingga dia tidur, tetapi terbangun beberapa saat kemudian. Padahal hanya tertidur sebentar, tetapi dia memimpikan hal aneh yaitu melihat cowok pemilik apartemen ini memakai sebuah kemeja putih yang tak lain adalah seragam sekolah. Padahal mereka baru saja bertemu hari ini.

Pintu ruangan itu terbuka. Baskara muncul membawa beberapa benda di tangannya. Dalam waktu singkat, kedua tangan Bintang sudah terborgol begitupun kedua kakinya hingga dia tak bisa ke mana-mana selain di atas tempat tidur itu. Ini akan berlangsung lama jika dia berontak, tetapi Bintang tak berontak sama sekali karena sudah tahu bahwa itu akan berakhir sia-sia.

"Gue pikir benda-benda di dalam sana nggak akan berguna." Baskara berdiri di sisi tempat tidur dan merapatkan ujung sebuah pistol ke pelipis Bintang. "Jawab. Gimana bisa lo ada di kamar gue?"

"Aku juga nggak tahu. Kalau aku tahu, udah dari tadi aku jawab supaya aku dibebasin, kan?" Bintang menoleh hingga pistol di tangan Baskara ikut tergerak. Cewek itu menatap Baskara dengan tatapan lelah. "Kakak lagi nguji aku, ya? Lagi buat eksperimen atau gimana?"

Baskara menarik pistol kosong itu. Dia hanya ingin menakut-nakuti Bintang, tetapi Bintang bahkan tak memperlihatkan raut wajah ketakutan dan hanya pasrah juga lelah di wajahnya, menandakan bahwa dia benar-benar tidak tahu mengapa dia bisa ada di apartemen ini. Baskara curiga bahwa cewek itu adalah penipu yang andal.

"Kenapa lo nggak takut?" Baskara kembali menempelkan ujung pistol ke pelipis Bintang hingga kepala Bintang terdorong ke samping. Cewek itu hanya menghela napas, membuat Baskara mengernyit. "Gue bisa bunuh lo sekarang kalau gue mau."

Baskara ingin melihat ekspresi ketakutan di wajah cewek itu, tetapi tak ada ketakutan yang terlihat. Ini berjalan tidak menyenangkan. Tak sesuai dengan keinginannya.

"Mau gimana lagi. Lo akan gue serahin ke kantor polisi." Baskara melihat sebuah reaksi yang membuatnya menjadi lebih penasaran, yaitu Bintang menoleh dengan cepat dengan wajah panik. Baskara duduk di samping Bintang. "Kenapa lo lebih takut denger nama polisi dibanding gue yang bisa bunuh lo sekarang juga?"

"Aku nggak mau pulang...."

Baskara menaikkan alis.

"Kalau aku ke kantor polisi, aku bisa aja ditemuin sama orang yang nggak pengin aku lihat lagi."

"Oh." Meski tak tahu, Baskara ingin bermain tebak-tebakan sekarang. "Ada juga yang nyari lo selama ini? Jangan-jangan lo pernah bunuh orang?"

"Enggak." Suara Bintang memelan. Dia menaruh pipinya di atas lutut. "Kalau lihat seseorang meninggal di depanku ... pernah."

Baskara memandang raut wajah Bintang, lalu memalingkan wajah. "Lo pikir dengan masang tampang sedih kayak gitu gue bakalan kasihan?"

Bintang menatap Baskara dengan mata berkaca-kaca. "Aku nggak butuh dikasihani."

"Haaah, ck." Baskara kesal melihat reaksi Bintang yang tidak menyenangkan baginya. Dia berdiri, menangkup kedua pipi Bintang dengan satu tangannya, lalu menyodorkan pistol kosong itu ke mulut Bintang. Tak ada reaksi ketakutan dari cewek itu hingga membuat Baskara semakin merasa kesal saat menarik benda itu kembali. "Gue jadiin lo sebagai orang pertama yang gue bunuh."

"Terserah," balas Bintang tanpa ekspresi. "Aku juga nggak punya alasan untuk hidup lebih lama."

***


thanks for reading!

love,

sirhayani

Matahari Dan BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang