the tapestry to patch up

6.6K 718 81
                                    

ASKfm | angkasaa | 5 years ago

Anonymous14: some things are worth fighting for, don't you think?
angkasaa: but if it's forced, i don't think it's worth fighting.

***

       Manchester.

       Kota yang sejuk karena sering diguyur hujan. Kota yang selalu berawan sehingga banyak orang nyaman beraktivitas di luar ruangan. Kota yang menjadi rumah untuk Manchester United--klub bola kesayangan Angkasa.

       Angkasa bilang Manchester tentang aku dan tentang dia. Manchester tentang kami, katanya.

       Sudah satu minggu sejak dia muncul di depanku dan mengumumkan keberangkatannya yang tiba-tiba. Artinya, sudah lima hari dia di Manchester. Sedang apa dia di Manchester sana? Masihkah arti Manchester sama untuknya? Masihkah Manchester tentang aku dan dia, walau aku tidak ada di sisinya?

       Logikaku memohon supaya jawabannya adalah tidak. Separuh diriku menginginkan Angkasa menyesali keputusannya ke Manchester. Egoku meminta Angkasa gagal di Manchester karena dia sendirian. 

       Akan tetapi, bisikan hati kecilku berharap begitu lantang bahwa Angkasa bahagia di Manchester. Hatiku yang selalu menang tentang Angkasa ini ternyata ingin Angkasa berdamai dengan dirinya sendiri di sana. Mungkin waktuku mendampingi Angkasa memang harus usai dulu sekarang. Mungkin nanti, saat kami sudah menemukan diri sendiri masing-masing, kesempatan untuk kembali bersama akan tiba sekali lagi. 

       Namun, aku tahu aku harus siap jika kesempatan itu tidak akan datang sama sekali. 

       Angkasa tidak berjanji jika dalam enam bulan semua akan kembali baik-baik saja. Angkasa tidak berjanji jika dalam enam bulan kami akan kembali seperti semula. Angkasa meninggalkanku tanpa janji apa-apa.

        Ya, Angkasa Radhyasoewarno yang jika ceritanya dilihat dari sisi mana pun akan tetap memiliki akhir yang sama, yaitu ketidakpastian.

       "Ta, yuk."

       Suara dan tepukan halus Arthur di pundakku membuatku mengerjap. Kedua alisku bertaut ketika menyadari bahwa kami berada di parkiran studionya. Padahal, saat Arthur mengajak aku pulang bersama dari kampus tadi, aku sudah bilang supaya dia langsung mengantarku pulang ke indekos saja.

       "Thur, tadi kan gue minta langsung pulang," ucapku tanpa berniat untuk membuka pintu.

       Arthur mengangguk. "Iya, gue tahu. I changed my mind. Gue mau ajak lo ke sini dulu."

       "Tapi gue lagi nggak pengin main, Arthur. Gue lagi capek."

       "Sebentar aja, Ta. Gue pengin nunjukkin lo sesuatu. Ya?"

       Aku memandang Arthur sejenak. Tidak biasanya Arthur melakukan hal yang tidak aku inginkan. Namun, sekarang tatapannya benar-benar memohon supaya aku mengiyakan ajakannya.

       "Oke," jawabku akhirnya.

       Arthur tersenyum. Dia mengajakku turun dan membiarkan aku melalui pintu masuk studio lebih dulu. Aku sudah membayangkan studio Arthur akan ramai seperti biasanya, tetapi ternyata aku mendapati studio Arthur gelap dan kosong.

       "Kok sepi?" tanyaku kepada Arthur yang baru saja menekan saklar lampu.

       "Iya, tadi pas on the way ke sini gue suruh semuanya pada pulang," balas Arthur seringan kapas.

       "Kenapa gitu?"

       "Karena gue tahu lo pasti lagi malas lihat yang ramai-ramai."

       Ketika aku akan protes karena dia memulangkan semua orang di sini, Arthur meraih tanganku dan membawaku naik ke lantai atas. Kami berjalan menuju arah wardrobe dan masuk ke ruang kerja Arthur yang tidak jauh dari sana. 

I'll Tell The Stars About You | The Stellar Shelf #1Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz