the other reasons

4.7K 748 79
                                    

ASKfm | angkasaa | 6 years ago

Anonymous14: Angkasa, gue sayang sama lo :)
angkasaa: Thanks :)

***

      Aku memang rindu Jakarta, tetapi aku tidak berharap pulang seperti ini. Tidak dengan perasaan khawatir dan penuh ketakutan. Tidak dengan pikiran yang penuh tanda tanya.

      Om Altair tidak main-main dengan ucapannya. Pukul enam pagi, sebuah Audi menungguku di depan kos dan mengantarku sampai ke bandara. Aku terbang ke Jakarta di kelas bisnis pesawat komersial--aku ingat Om Altair meminta maaf jetnya tidak bisa menjemputku karena masih di Jakarta. Saat aku sampai, aku dijemput supir yang langsung membawaku ke sebuah rumah besar di Pondok Indah. Rumah Angkasa.

      "Non, mari." Aku mengerjap ketika seorang pelayan menyapaku setelah aku turun dari mobil di lobi rumah. 

      Tubuhku meremang seiring aku memasuki rumah Angkasa. Rumah ini sudah jelas lebih besar daripada rumah di Jogja. Pekarangannya saja mungkin lebih luas dari rumahku. Konsep American classic membuat rumah Angkasa di Pondok Indah ini lebih terasa mewah dan elegan, walau hanya di dominasi warna krem dan hitam. 

      Pelayan membawaku ke halaman belakang. Terlihat Om Altair sedang membaca iPad-nya di teras yang menghadap kolam renang. Aku berterima kasih saat pelayan menggeser pintu kaca, mempersilakan aku menemui Om Altair. 

       "Selamat pagi, Om." Aku menyapa sopan.

       Om Altair tersenyum hangat dan berjalan kepadaku. "Halo, Amarta. Gimana tadi flight-nya?"

      "Banyak turbulence, tapi aman, Om." Aku menyalam tangan Om Altair.

      "Jadi aman, ya?" Om Altair tertawa pelan. 

      "Aman, Om." Aku mengangguk. "Jadi ada apa, Om? Aku nggak lihat Angkasa dari tadi."

      Senyum hangat Om Altair terlihat sedih dan perasaanku tidak enak. "Angkasa jarang ke sini. Cuma dua hari belakangan aja karena mamanya."

      "Tante ada di sini?" 

       "Ada. Ayo, Nak."

       Kedua alisku mengerut saat Om Altair masuk ke dalam rumah. Aku mengikutinya dan kami berhenti di depan sebuah pintu kamar. Aku kesulitan meneguk ludahku ketika Om Altair membuka pintu perlahan. 

      Aku ikut masuk ke dalam kamar. Wangi desinfektan mulai tercium, seperti wangi rumah sakit. Bunyi monitor denyut jantung memenuhi ruangan. Kamar yang luas ini dilengkapi lemari berisi obat-obatan serta perlengkapan medis lainnya. Mamanya Angkasa sakit apa sampai harus dirawat di rumah?

     "Amarta, ayo." Om Altair mengajakku masuk lebih dalam.

     Napasku tercekat saat itu juga. Kakiku tiba-tiba berat digerakkan. Mataku tidak percaya melihat wanita yang berbaring di atas kasur rawat. 

     Ya, Tuhan, ini sungguhan? Jadi selama ini Aluna Sastrawinata adalah mamanya Angkasa?

     "Namanya Aluna. Masih wanita paling cantik yang pernah Om temui. She is my best friend. We share three children--Atlas, Angkasa, dan Aurora." 

     Aku tidak tahu mau membalas apa. Hanya kuamati Om Altair menaikkan selimut dan merapikan rambut Tante Aluna.

      "Tante kenapa, Om?" Aku tidak bisa memikirkan pertanyaan lain.

      "Koma, sudah dua tahun," jawab Om Altair dengan mudah. 

     Jadi ini alasannya Tante Aluna tidak lagi berdonasi di panti asuhan? Lalu Angkasa yang sudah tahu hal ini memilih diam saja seperti dia tidak tahu apa-apa?

I'll Tell The Stars About You | The Stellar Shelf #1Место, где живут истории. Откройте их для себя