Path to You .6

19 4 3
                                    

Seorang perawat di rumah sakit memberi Boun panggilan telepon saat ia berada di workshop milik Art. Ia tengah membantu Art menyelesaikan proposal pesanan klien.

Setelah menjawab panggilan, ia bergegas pergi dengan terburu-buru. Perawat yang memanggilnya mengatakan padanya bahwa kondisi ibunya tiba-tiba menurun dan ia kembali tidak sadar.

"Dok, ada apa dengan ibuku?" tanya Boun begitu tiba di ruang rawat ibunya.

Dokter itu menghela nafas pelan sebelum dengan hati-hati memberi penjelasan pada Boun. "Kami menemukan ibumu terjatuh di kamar mandi. Dia pingsan mungkin ia mengalami sakit kepala sebelumnya atau mungkin karena benturan. Khawatir ada pendarahan di kepalanya kami melakukan pemeriksaan. Kami menemukan ada sel kanker baru yang mulai tumbuh dan itu tidak hanya dua tiga, tapi ada beberapa. Jika tidak segera ditangani ditakutkan mulai membesar dan menyebar."

"Bukankah saat itu anda bilang bisa dihilangkan?"

"Memang benar, setelah operasi pertama benar-benar bersih tak ada tanda sel kanker lain, tapi yang ini baru-baru ini tumbuhnya, sangat kecil tapi dalam jumlah yang lebih banyak."

"Apakah bisa dilakukan operasi sekaligus?"

"Kami masih perlu analisa lebih lanjut untuk meminimalkan resiko. Untuk sementara kami akan menggunakan obat-obatan terlebih dahulu sebagai penahan. Kau siapkan saja dananya saat nanti dibutuhkan operasi."

"Hn baik dok."

Setelah dokter meninggalkan ruangan, dengan lunglai Boun berjalan ke samping tempat tidur ibunya. Ia ingat bahwa pagi ini ia masih mengobrol dengan ibunya sebelum berangkat ke kampus, ia terlihat baik-baik saja. Ibunya memang sempat mengeluh sedikit rasa sakit di kepalanya dan ibunya bilang hanya butuh tidur sebentar agar sakit itu hilang. Ia tak mengira jika kondisi ibunya justru semakin menurun.

Meskipun dokter mengatakan masih bisa ditangani, dengan kondisi ibunya saat ini, ia terus was-was. Jika tak ada keperluan mendesak ia hanya pergi ke kampus lalu bergegas kembali ke rumah sakit begitu kelasnya selesai. Ia terus khawatir dengan kondisi ibunya.

Saat kembali dari kampus dan melewati kios koran, ia melihat majalah fashion yang terpajang di etalase yang kebetulan menghadap ke jalan. Menemukan bahwa pada sampulnya memiliki foto dan wawancara eksklusif dengan Mew. Ia tak tahu apa yang ada di kepalanya saat itu tapi ia masih membeli majalahnya tanpa berpikir. Ketika tiba di ruang rawat ibunya, ia akan meletakkan kantong belanjaan dan melihat sudut terbuka dari majalah dalam tas, ia terdiam beberapa saat untuk merasa malu dan sedikit terhina. Dalam keadaan seperti sekarang ia masih sempat memikirkannya.

Dokter kembali mendatanginya, memberitahu keadaan ibunya yang masih tak kunjung membaik dan menyarankannya untuk segera dioperasi.

"Nong, aku sudah memeriksanya dengan dr. Kanawut mengenai kondisi ibumu. Dia bilang operasi akan sedikit lebih sulit karena ada di beberapa titik terutama di dekat bekas operasi lama, tapi dia bersedia memimpin operasi kali ini. Jika kau bisa mendapatkan setengah biaya, operasi ibumu akan dijadwalkan dalam dua hari, kau bisa bicara pada bagian administrasi."

"Dr. Kanawut?" Nama itu seperti pernah ia dengar.

"Ya, dia salah satu ahli bedah saraf terbaik, sangat kebetulan dia baru saja bergabung dengan rumah sakit."

"Kenapa bukan dokter sendiri?"

Dokter itu menggeleng, "Aku tidak berani mengambilnya. Dokter Kanawut jauh lebih mampu dengan pengalamannya menangani operasi sulit."

"En segera saya usahakan dok."

"Baiklah nong."

"Ugh Nong, jika boleh aku tanya. Kenapa kau selalu sendirian? Di mana keluargamu yang lain? Dan siapa yang membiayai perawatan ibumu sedang kau sendiri masih kuliah?"

Remahan CrackersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang