59. Maaf untuk Apa?

Comincia dall'inizio
                                    

Apa yang baru saja didengarnya? Gabriel ditampar oleh fakta Zilva yang selama ini menderita karenanya. Ia merasa bersalah karena bersikap egois dengan menyembunyikan semuanya. Gabriel hanya tak mau kehilangan Zilva lagi. Tapi ternyata keputusannya itu malah semakin menyiksa Zilva.

Kepalanya terasa kosong. Ia menatap Zilva dengan sedih dan rasa sesal yang bercampur menjadi satu. Kenapa ia tak pernah peka dan bersikap egois selama bertahun-tahun mereka bersama?

"Amnesia disosiatif ...?" gumamnya.

"Ya! Vania sudah memiliki gejala amnesia disosiatif sejak kecil saat dia terjebak kebakaran di rumah. Dia gak ingat sama sekali tentang kehidupan sekolah dasarnya karena dia trauma di bully teman sekelasnya. Bahkan dia juga trauma dengan api. Lo gak tahu hal ini kan? Iya lah gak ngerti, lo kan gak pernah berusaha untuk mengenal Vania dengan baik!" Christ melepas cengkramannya dari kerah baju Gabriel dengan kasar.

"Kak Christ ..., " lirih Zilva dan meraih ujung baju milik Christ.

Christ menoleh dan menatap Zilva khawatir. "Vania, b*jingan ini gak pantas buat kamu!"

Zilva menggeleng pelan. Memberi kode agar kakaknya itu meredakan amarahnya. Tangannya tetap mencengkram ujung baju kakak lelakinya.

Christ mengembuskan napas agar amarahnya mereda. "Gabriel, lo keluar sekarang. Jangan temui Vania sampai dia yang minta ketemu. Jangan buat gue mengatakan hal ini untuk yang ketiga kalinya."

Laki-laki itu menurut. Ia keluar dengan perasaan yang bercampur aduk. Pikirannya terasa penuh ketika mencerna semua perkataan kakak dari kekasihnya itu. Apa ini? Dadanya terasa sangat sakit ketika membayangkan Zilva kesakitan setiap mengingat tentang masa lalunya.

Gabriel selalu lega ketika Zilva memberinya waktu untuk menceritakan semua kisah awal mereka. Ia takut kekasihnya itu akan pergi jauh lagi ketika ia menceritakan semuanya. Tetapi, sekarang ia benar-benar menyesal ketika mengetahui bahwa Zilva menderita amnesia disosiatif. Di mana gadis itu malah semakin menderita karena berusaha untuk mengingat semuanya sendirian.

Pertahanannya runtuh. Ia jatuh terduduk di lantai koridor dengan isakan kecil di mulutnya. Ah, air mata itu sudah cukup untuk membuktikan bahwa Gabriel sangat menyayangi kekasihnya.

"Aku minta maaf, Zilva ..., " lirihnya di sela-sela isakan.

Gabriel sudah tak tahu lagi. Semuanya sudah hancur. Ia menyerah. Mungkin melepas Zilva adalah keputusan terbaik agar gadis itu tak semakin terluka karena dirinya. Ia merasa sangat bodoh karena merusak kebahagiaan gadis tercintanya.

Koridor rumah sakit terlampau sepi, seperti mendukung agar Gabriel bisa melampiaskan rasa sedih dan sesalnya dengan puas. Ia ingin berteriak sekencang mungkin, namun ia paham betul di mana ia berada sekarang.

Ia menarik rambutnya frustrasi. Tangannya mengusap air mata yang enggan untuk berhenti. Mulutnya tak henti-hentinya bergumam sesal. Gabriel sudah seperti orang gila karena berantakan dan menggumam aneh seperti itu.

Hanya Zilva yang bisa membuat sosok Gabriel yang dingin dan tegas itu menjadi lemah dan berantakan seperti sekarang.

Gabriel tahu kalau dirinya tak boleh lemah hanya karena perempuan, tapi Zilva adalah alasannya untuk tetap hidup sampai sekarang. Ia tak bisa sekuat itu jika menyangkut Zilva, apalagi gadis itu sampai terluka karenanya.

"Gabriel .... "

Suara ini! Ia mendongak dan mendapati Zilva duduk di kursi roda dengan bantuan Christ. Melihat wajah pucat Zilva, ia malah semakin terisak.

"Tinggalkan kita berdua, Kak," ucapnya pada Christ, dan kakak lelakinya itu mulai berjalan menjauh namun Zilva masih dalam jangkauan matanya.

Gabriel mulai membuka mulutnya, "Zilva, aku ... aku―"

Boyfriend In My DreamDove le storie prendono vita. Scoprilo ora