39. Berharap dan Kecewa

Start from the beginning
                                    

Aldino segera mengambil ponselnya membuat kedua mata Arin teralihkan pada cowok itu. Kedua matanya sempat berkontak dengan Arin selama beberapa detik akan tetapi Aldino langsung mengalihkan pandangannya dan segera pergi dari ruang kelasnya.

"Al," panggil Arin mencegatnya yang hendak pergi.

Aldino menoleh pada gadis itu. Cowok itu menautkan kedua alisnya.

"Lo mau kemana?" Tanya Arin.

"Perlu gue jawab?" Aldino menyerangnya dengan sebuah pertanyaan.

Arin sedikit tertohok dengan pertanyaan itu. Memang benar, dia tidak ada hak untuk mengetahui kemana Aldino akan pergi setelah ini. Itu urusannya dan tidak seharusnya dia ikut campur.

"Tumben buru-buru, biasanya lo keluar paling terakhir," Arin berbasa-basi.

"Gue ada janji sama orang," jawab Aldino seraya merapikan barang-barangnya.

"Hah siapa?" Arin benar-benar terkejut dengan jawaban Aldino.

Aldino menaikkan alisnya sebelah. Jujur saja Aldino ikut terkejut melihat ekpresi Arin saat ini. Ini juga pertama kalinya Arin mengintrogasinya seperti pada pasangannya sendiri.

Arin meringis pelan. Dia mengulum bibirnya rapat-rapat. Gadis itu merutiki kebodohannya karena terlalu frontal karena penasaran. 

Aldino memutuskan untuk segera pergi dari ruang kelasnya. Dia sudah membuang beberapa menitnya hanya untuk meladeni Arin. Aldino tidak mau menyianyiakan waktunya, ada seorang gadis yang masih menunggu kehadirannya di bioskop.

Arin kembali menahan lengan Aldino ketika cowok itu hendak pergi, "Al gue piket hari ini, lo bisa bantuin gue gak?" 

"Minta bantu aja sama temen lo yang piket juga," tolak Aldino secara tidak langsung.

"Mereka semua pada gak bisa," Arin beralasan.

"Sehari gak diberesin sebenernya gak akan jadi masalah."

Arin kembali menahan lengan cowok itu, "Al."

"Apa lagi?" Tanya Aldino yang sudah muak dengan sikap Arin.

"Lo emang tega liat gue nanti di pojokin sama anak kelas? Lo tau sendiri kan gue gak begitu akrab sama mereka."

Aldino terdiam. Merespon semua pertanyaan yang gadis itu lontarkan sangat menguras tenaganya. Cowok itu mengalihkan pandangannya pada benda pipih yang baru saja dia keluarkan dari sakunya.

"Aldino, kok lo jadi berubah gini sih?" Gadis dihadapannya itu kembali bersuara.

"Gue emangnya ada salah apa sama lo? Semenjak beres olimpiade lo kaya beda orang," kedua matanya sudah mulai berkaca-kaca.

"Gue emang gini," tegas Aldino tanpa meliriknya sama sekali.

Arin membiarkan satu per satu air matanya lolos begitu saja. Gadis itu menjatuhkan tubuhnya. Membiarkan dirinya tergeletak di lantai. Dia sudah memulai aksi dramanya.

"Rin!" 

Aldino terkejut. Cowok itu membungkuk membantu Arin untuk bangkit kembali. Beberapa siswa yang berada di dalam dan luar kelas memperhatikan mereka. Arin berhasil membuat dirinya dan Aldino menjadi pusat perhatiaan dadakan.

Arin segera menyingkirkan tangan Aldino dari bahunya, "Gue gapapa cuma pusing dikit aja, dari tadi pagi sih sebenernya."

"Gue nebeng pulang aja deh boleh ga? Rifqi lagi ke ke konter service soalnya," pinta Arin dengan nada memohon.

"Lo kalau gak mau bantu gue piket gapapa lo tunggu aja di luar," lanjut Arin.

Aldino berdecak sebal. Dia tidak bisa melihat perempuan dalam keadaan lemah seperti ini. Cowok itu juga tidak mau mengotori namanya sendiri karena menolak permintaan Arin. Orang-orang pasti akan memandangnya sebagai sosok yang sangat kejam jika dia meninggalkan Arin begitu saja dalam kondisi seperti ini.

Rifaldino (PREQUEL IPA & IPS) [TAMAT]Where stories live. Discover now