part 24

574 45 1
                                    

HAPPY READING 🌻
****

"Badan om kotor, aku bersihkan pakai air, yah."

Setelah mendapat izin dari Ervan, dengan pelan-pelan Aqila membuka baju rumah sakit yang di kenakan Ervan, dia cukup kesusahan karena tangan kanan Ervan yang di perban.

Aqila membuang mukanya ketika melihat roti sobek Ervan, yang terpampang jelas di depannya. Walaupun sudah beberapa kali melihat, tetapi dia tidak pernah melihat sedekat ini.

"Kenapa?"

"Hah? Enggak papa." Aqila mulai membersihkan tubuh Ervan dengan handuk kecil yang sudah di beri air.

Saat bagian perut Ervan, walaupun ragu. Perlahan Aqila mulai mengelapnya, dengan pandangnya yang membuang muka.

"Kok buang muka?"

"Enggak."

"Cie, malu."

Pipi Aqila langsung memerah.  "Siapa yang malu."

"Buktinya pipinya merah," ucap Ervan sembari menusuk pipi Aqila dengan telunjuknya. Hal itu semakin membuat pipi Aqila memerah, dia sangat malu.

"Bersihin sendiri!" Aqila melempar handuk kecil itu ke wajah Ervan, lalu pergi ke luar.

Dia memilih membeli sarapan di kantin, dari pada di dalam ruangan terus yang ada membuatnya semakin malu.

Setelah membeli makanan, dia kembali ke ruangan tempat Ervan di rawat.

"Sini aku bantu." Aqila menaruh plastik di meja, lalu membantu Ervan yang sedang kesusahan memakai baju.

"Dari mana?"

"Kantin."

Aqila duduk di kursi dekat ranjang Ervan lalu membuka satu bungkus nasi uduk yang tadi dia beli. 

"Om mau makan lagi?" Tadi pagi Ervan sudah sarapan dengan bubur yang di berikan oleh rumah sakit.

"Mau, makan bubur enggak kenyang terus enggak enak."

Aqila membantu Ervan duduk. Setelah itu dia memakan makanannya sembari menyuapi Ervan.

"Duh, sweet banget makan berdua."

Aqila dan Ervan menoleh ke arah pintu, yang terdapat Intan dan Dafa yang sedang mengendong Arlan.

"Masuk ma, pa."

Aqila membuang kertas nasi bekas nasi uduk ke tong sampah, lalu menyelami tangan mertuanya itu.

Aqila mengambil alih Arlan dari gendongan papa mertuanya. 

"Gimana keadaan kamu, Van?" tanya Dafa.

"Alhamdulillah mendingan, pa."

"Abang," panggil Arlan sembari terus saja meminta turun ingin menghampiri Ervan.

"La, bawa sini Arlan." Aqila mengganguk, dia mendudukkan Arkan di paha Ervan.

Aqila ikut duduk di sofa di sebelah Intan, sedangkan Ervan sibuk bermain dengan Arlan.

"Kamu enggak sekolah?"

"Aku izin, ma."

"Makasih udah jagain Ervan, sayang." Intan mengelus rambut Aqila.

"Udah kewajiban aku, ma. Sebagai seorang istri."

Intan tersenyum mendengar jawaban dari Aqila. "Ervan enggak salah pilih." Aqila hanya tersenyum menanggapi ucapan Intan.

"Orang tua kamu masih di Amerika?" Dua hari yang lalu Dian dan Yudha pergi ke Amerika untuk urusan bisnis.

"Iya, ma."

Aqila memandang Ervan yang masih asik bermain dengan Arlan, dia tersenyum melihat interaksi Ervan dan Arlan. 

"Aqila, Ervan. Papa sama Mama pulang dulu, masih ada urusan."

"Iya, pa. Hati-hati." Aqila berdiri lalu menyelami tangan kedua mertuanya.

Ervan memberikan Arlan ke Dafa, lalu menyelami tangan kedua orang tuanya.

"Dadah Arlan," ucap Aqila sembari melambaikan tangan ke Arlan.

Aqila menutup pintu, lalu kembali duduk.

"Mau jalan-jalan, om?"

"Boleh."

"Sebentar aku ambil kuris roda dulu." Ervan langsung memegang tangan Aqila, saat Aqila akan berdiri untuk mengambil kursi roda.

"Saya bisa jalan."

"Beneran?"

"Iya."

Aqila menuntun Ervan berjalan, walaupun Ervan tak mau di tuntun. Aqila tetap bersikeras, dia takut Ervan nanti tiba-tiba jatuh.

Sesampainya di taman, mereka duduk di kursi yang ada di taman.

Aqila menyenderkan kepalanya di bahu Ervan, pandangannya tertuju ke bunga mawar yang ada di taman.

"Kamu suka sama saya sejak kapan?" tanya Ervan memecahkan keheningan di antara mereka.

"Entah."

Aqila mendongak lalu menatap Ervan yang sedang menatap lurus jalanan. "Om cinta aku enggak?"

Ervan menoleh. "Enggak."

"Ih, masa! Om harus cinta sama aku!"

"Dih, maksa."

"Ih, Om jahat!"

Grep.

Aqila langsung diam, saat Ervan  membawanya ke dalam dada bidang milik Ervan. Tangan Ervan mengelus rambut Aqila dengan lembut.

"Saya becanda, saya juga cinta sama kamu."

"Enggak bohong kan?"

"Enggak."

"Om."

"Hm?"

"Jantung om kenceng banget berdetaknya." Pipi Ervan sontak memerah mendengar penuturan dari Aqila, bahkan kupingnya ikut memerah.

"Itu juga gara-gara kamu."

****

Malam harinya teman-teman Ervan datang menjenguk, seketika ruangan Ervan yang sunyi menjadi ramai oleh sahabatnya.

"Woi, kutub Lo bisa sakit juga." Agam menepuk pundak Ervan pelan sembari tertawa, sedangkan Ervan hanya mendengus kesal.

Arga mengjitak kening Agam. "Dia juga manusia bege!"

"Kenapa Lo? Keliatan cape banget?" tanya Ervan kepada Dio yang duduk di sofa dengan wajah lelah.

"Gara-gara lo sakit, kerjaan kantor semua gue yang handle."

"Sabar ini ujian hidup." Rafa yang duduk di sebelah Dio menepuk pundak pria itu.

Pintu ruangan tiba-tiba terbuka, menampilkan Aqila yang baru saja datang, sedangkan Dio hanya mendengus kesal.

Semua mata memandang Aqila yang masih berdiri di pintu, Farel yang tadi fokus pada ponselnya pun ikut menoleh.

Aqila baru saja kembali dari rumah, tadi dia pulang dulu untuk berganti baju.

"Loh, pantesan di luar kedengaran rame ternyata ada temennya om Ervan."

"Apa kabar, La?" Tanya Dio.

"Baik, om."

Mereka semua mengobrol banyak hal, Aqila pun ikut nimbrung.

Jam sepuluh malam teman-teman Ervan berpamitan pulang. Setelah kepergian teman-temannya Ervan menatap Aqila yang sudah terlelap di sofa.

Ervan berjalan ke Aqila dengan tangan yang memegang infus.

Dengan hati-hati Ervan mengendong Aqila dengan satu tangan, karena tangan satunya terluka dan sedang memegang infus.

Tidak sulit bagi Ervan mengendong tubuh Aqila yang kecil. Setelah merebahkan Aqila di kasur brankar Ervan ikut merebahkan tubuhnya.

Ervan tidur dengan posisi miring, memeluk erat pinggang istrinya itu.







om, nikah yuk! Where stories live. Discover now