part 4

1K 116 21
                                    

Hai!
Jangan bosen baca cerita ininya:)
Jangan lupa vote dulu sebelum baca.
Selamat membaca.

***

"Huaaa!"

Bugh!

Guling yang di peluk Aqila sukses mengenai wajah pria yang berdiri tegap di hadapannya. Aqila terlalu terkejut hingga refleks melempar guling itu, ia beringgsut mundur memeluk bantal.

Bayangkan saja, saat dia membuka mata langsung di suguhkan pria yang berdiri tegap di samping ranjangnya.

Rasanya jantung dia seperti mau lompat dari tempatnya, melihat Ervan seperti melihat hantu karena saking terkejutnya.

Kenapa bundanya itu malah mengijinkan laki-laki masuk ke kamar anak gadisnya ini.

"Om, ngapain di kamar saya?"

"Bangunin kamu."

"Bohong, kok cuman diam doang pas Ila bangun." Aqila menatap tajam ke arah Ervan, ia tidak bisa mempercayai om-om seperti Ervan ini.

"Terserah saya dong."

"Om pasti mau lakuin macam-macam ke saya, yak!"

Ervan--- orang itu Ervan, orang yang pagi-pagi sudah berada di kamarnya dan membuat jantung gadis itu hampir saja loncat dari tempatnya.

Ervan mencondongkan tubuhnya ke arah Aqila, ia tersenyum miring di depan Aqila. "Kalau iya?"

Pupil Aqila melebar. "Om, jangan becanda!"

Ervan di buat panik sendiri ketika mata Aqila sudah berkaca-kaca. "Saya cuman becanda, sana kamu mandi kita fitting baju pernikahan."

"Om keluar."

Setelah Ervan keluar dari kamarnya, Aqila masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

"Ayok, om." Ervan mengalihkan pandangannya dari handphone ke arah Aqila yang sudah berdiri di depannya.

"Cepat banget."

"Ngapain lama-lama."

"Bunda, Ila berangkat dulu. Assalamualaikum." Aqila dan Ervan menyalami tangan Dian bergantian.

"Kita pamit, Bun."

"Kalian hati-hati." Aqila dan Ervan hanya membalas dengan anggukan kepala.

Aqila mengyengritkan keningnya melihat sebuah motor yang terparkir di depannya.

"Pake motor, om?"

"Iya, cepat naik."

"Ko diam, om? ayok jalan." Aqila mendengus kesal saat dia sudah duduk manis di jok belakang, tapi Ervan tak kunjung menjalankan motornya.

"Pegangan."

Aqila mengangguk, walau ia yakin Ervan tak melihatnya. Tangan Aqila terangkat memegang bahu Ervan.

"Saya bukan tukang ojek!"

Aqila mengumpat kesal, lalu tangganya memegang jaket Ervan.

Brum.

"Astagfirullah!"

Aqila refleks memeluk Ervan ketika Ervan menancap gas dengan cepat, ia semakin mengeratkan pelukannya dan memejamkan mata. Ervan mengendarai motor seperti mengajaknya mati.

****

Aqila berjongkok, rasanya raganya seperti melayang. Apa lagi perutnya sangat mual, seperti di aduk-aduk.

"Kalau mau mati, jangan ngajak saya dong!"

"Lemah, ayok masuk."

"Tunggu, om. Masih lemes."

"Ayok atau saya tinggal?"

"Nyebelin banget sih! dasar om-om." Aqila mengejar Ervan yang sudah duluan masuk ke dalam toko butik.

"Assalamualaikum, Tan."

"Wa'alaikumsalam, akhirnya kalian sampai juga. Ini calon kamu, Van? Cantik sekali."

"Makasih tante."

"Oh, iya. Kenalin nama Tante Putri, Tante adiknya mamanya Ervan."

"Aku Aqila, Tante."

"Sekarang kamu ikut Tante, yuk.Tante udah siapin beberapa baju buat kamu." Aqila hanya membalas dengan anggukan kepala, lalu mengikuti langkah kaki Putri.

****

Ervan pov

Aku menggelengkan kepala melihat gadis di depanku yang sekarang berstatus calon istriku itu makan dengan porsi yang banyak. Aqila sudah menghabiskan dua porsi dan sekarang gadis itu sedang memakan makanan yang ke tiga, yang membingungkan adalah tubuhnya yang kecil tapi perutnya itu bisa menampung banyak makanan.

Dan untuk pertama kalinya aku melihat wanita yang makan bersamaku dengan sikap jauh dari kata anggun, setiap wanita yang makan bersamaku pasti akan berusaha bersikap seanggun mungkin, tapi dia berbeda.

Mungkin aku mulai menyukainya, sikap dia yang apa adanya dan kadang manja membuatku gemas kepadanya.

Ah, aku sekarang malah terlihat seperti pedofil yang menyukai anak kecil.

Oh, iya. Saat ini aku dan Aqila berada di salah satu restoran yang berada di Jakarta, setelah kami selesai fitting baju Aqila terus saja merengek ingin pergi ke restoran karena cacing di perutnya sudah kelaparan katanya.

"Om mwuakwannywa dwikit?"

"Telan dulu baru ngomong." Aqila menurut, ia menelan makanan yang ada di mulutnya.

"Om, kenyang makan sedikit?"

"Saya enggak kaya kamu yang rakus."

"Saya itu enggak rakus! maklum aja saya makan banyak, penyimpanan perut saya itu iPhone."

Aku mengnyengritkan keningku tidak mengerti.

"Maksud?"

"Enggak, Jakarta rame."

"Enggak jelas kamu."

"Enggak papa enggak jelas, yang penting cinta kita yang jelas, enggak ngegantung ke yang baca." Di sela-sela makan pun dia masih sempat-sempatnya menggombal, sayangnya gombalannya itu tidak membuat ku baper malah geli mendengarnya. 

Setelah selesai makan, aku langsung mengantarkan Aqila pulang. Terlihat sekali dari wajahnya kalau dia sudah lelah dan mengantuk.

Aku menjalankan motor dengan kecepatan sedang, aku cukup kasian takut gadis di belakangnya ini masuk angin nanti aku juga yang di marahin mamaku.

Aku menerima helm yang di sodorkan oleh Aqila, kami baru saja sampai di depan rumah Aqila.

"Om jangan mampir dulu, yak."

Aku menjitak kening Aqila pelan. "Orang lain itu biasanya nanya 'mau mampir dulu enggak', kamu malah enggak boleh."

"Terserah saya dong."

"Udah sana! om pulang, bye." Ia mengusir ku lalu berjalan masuk ke rumahnya meninggalkanku yang masih setia menatap punggung kecilnya.

Ah, jujur saja aku masih tak percaya, aku akan menikahi seorang gadis yang masih SMA. Umur kita bahkan terpaut jauh.

Entah kenapa waktu pertama bertemu dia aku bisa semudah itu bilang akan ke rumahnya, awalnya aku hanya asal bicara. Tapi, beberapa hari kemudian entah kenapa ia selalu menghantui pikiranku.

Karena penasaran aku mulai mencari tau dia, semua tentang dia dan keluarganya. Tentunya itu semua atas bantuan teman sekaligus orang ke percayaan ku yaitu Bagas.  

Setelah mengetahui semua tentang gadis yang selalu hinggap di pikiranku, aku menimbang sebuah keputusan untuk melamarnya.

Tak ada salahnya bukan melamar gadis di depannya ini, aku lihat dia gadis baik-baik dan di umurku yang sudah matang ini memang cocok untuk segera menikah.

om, nikah yuk! Où les histoires vivent. Découvrez maintenant