Mae menatapnya dengan tatapan horor. "Nggak elegan banget! Udah bagus-bagus lo make dress, rambut semanis itu hasil karya gue, sekarang lo malah ngeluarin kata-kata itu?"

"Lagian kalian dandanin lama banget, sih. Kan tinggal pakai baju udah. Kenapa sampai berjam-jam? Gue sampai mules," balas Bintang dengan mengomel.

"Inilah istimewanya kencan! Lo harus pergi dengan versi yang terbaik—"

"Versi kalian," potong Bintang cepat pada perkataan Mae yang menggebu-gebu.

"Girls! Ada mobilnya Baskara!" Acha lari dari dekat jendela menuju tempat tidur dan mengambil shoulder bag, lalu dia berjalan menuju Bintang dan menyelipkan tas itu di bahunya. "Ayo cepetan keluar sekarang!"

Mae dan Diva memakaikan sepatu hitam Bintang dengan gerakan cepat.

"Tu—tunggu!" seru Bintang ketika sepuluh tangan mendorong setiap bagian tubuh belakangnya dengan sekuat tenaga. Kelima cewek itu membawa Bintang ke ruang tamu dengan paksa.

Diva membuka pintu, kemudian yang lain mendorong Bintang ke beranda rumah. Seolah mengusirnya.

Pintu rumah itu langsung ditutup setelah Bintang berhasil dibawa keluar. Acha mengusap dahinya seolah ada keringat di sana, lalu mengibaskan tangannya ke bawah.

"Bintang kasihan. Jadi pelampiasan doang sama cewek yang mirip dia." Diva menghela napas panjang diikuti Muslimah di sampingnya.

"Gue kan udah bilang. Semua cowok itu sama aja. Sama-sama jahat!" seru Ajeng menggebu.

"Tapi gue nggak bisa bantu Bintang. Gue masih butuh uang," celutuk Mae.

Acha angguk-angguk. "Berpikir realistis itu perlu. Eh, ada istilah cinta bisa datang karena terbiasa. Nanti Baskara juga jatuh cinta sama Bintang."

Muslimah menempelkan telinganya di pintu. Tubuhnya berusaha menempel seperti cicak sampai pintu itu bergerak.

Tiga lainnya penasaran dan ikut menempelkan telinga mereka di pintu. Sementara Mae mengintip lewat lubang kunci.

"Sepertinya kita nggak boleh ikut campur urusan mereka berdua. Kerjaan kita selesai." Mae berdeham, lalu berdiri. Dia berbalik menuju kamar Diva kembali. "Ayo, teman-teman. Waktunya ngerjain PR!"

***

"Heh?" Bintang tak peduli bagaimana sikapnya kini di hadapan Baskara. Tubuhnya membungkuk lunglai. Tas hitam dengan harga puluhan juta itu tak lagi tersampir di bahunya. Tas itu menyentuh lantai karena rantai tas itu jatuh hingga terlilit di genggamannya.

"Haaah." Bintang tak henti-hentinya menghela napas panjang. Dia kemudian berdiri tegak, mengusap wajahnya dan tak sadar dengan riasan tipis di sana. Lipstik di bibirnya sampai sedikit tergeser.

Bintang memandang Baskara dari atas sampai bawah. Dia meneliti semua yang digunakan cowok itu. Jeans hitam, jam tangan hitam, kaos hitam, dan jaket hitam. Tak lupa sepatu hitam. Serba hitam. Sama seperti yang Bintang gunakan sekarang.

Tak masalah jika Bintang berada di tempat ramai dengan pakaian serba hitam bersama orang lain asalkan orang itu adalah temannya dan mereka tidak dalam acara apa pun. Namun, dengan Baskara, konteksnya adalah kencan meskipun itu tak serius.

Malu.

Seluruh wajah Bintang memerah dan kepalanya berasap.

"Kenapa lo pakai pakaian hitam juga? Siapa yang meninggal?" tanya Bintang agak sinis, sejujurnya dia menyembunyikan rasa tidak nyamannya.

Baskara masih berada di depan beranda rumah Diva. Tinggi teras rumah itu membuatnya tak perlu mendongak untuk melihat Bintang di sana. "Karena kalau serba pink lo nggak akan mau."

Matahari Dan BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang